Aku tunggu di Bangka!
Debar sekaligus kaget bercampur bahagia menyergapku tiba-tiba menerima pesan dari kamu itu. Pesanmu yang membuat ponselku berdering girang menerimanya.
Aku bingung ketika harus membalas pesan untukmu. Apakah aku harus menjawabnya dengan jujur, bahwa aku memang ingin ke Bangka, bahwa rindu ini sudah terlampau tak terperikan? Atau justru balik bertanya kepadamu tentang timah atau tentang curuh hujan di sana? Bagaimana kabar orang tuamu? Apakah kamu bahagia hidup di kampungmu?
Pertanyaan-pertanyaan itu bertebaran di kepalaku sebagai kebingungan-kebingungan yang mendebarkan. Dan, entah karena apa, asap rokok yang kuhisap untuk sekedar mengimbangi kerinduanku padamu, seakan menjelma dirimu. Bayangmu kembali muncul di hadapanku seperti gerimis-gerimis tipis yang rintik.
Seperti sebuah patung, aku duduk terpaku di teras kost, membaca pesan dari kamu sambil mengira-ngira apa yang akan kutulis di ponsel untuk membalas SMS-mu. Ada kupu-kupu ungu terbang di depanku, mengingatkanku pada baju yang kamu pakai waktu itu. Di depan kampus, saat itu hujan begitu lebat, kamu menunggu redanya hujan untuk pulang ke kostmu waktu itu. Dan aku diam-diam memerhatikan kamu yang kian gelisah karena hujan tak juga reda. Dinginnya hujan membuat tubuhmu menggigil, gigimu seperti bergemeletuk dan bibirmu kulihat ketika itu mulai berwarna ungu, mulai sama dengan baju yang kau kenakan. Aku ingin memberikan jaketku padamu waktu itu, namun, ah, lagi-lagi aku dihantui perasaan takut. Takut kamu menolaknya, takut kamu tak menghiraukan aku. Hingga akhirnya aku tak jadi memberikannya. Aku lihat kamu waktu itu tampak semakin dingin, sedang hujah masih tetap lebat.
Kerinduanku padamu begitu menggebu semenjak kamu pergi setahun yang lalu. Sebuah pesan dari kamu yang memberi tahuku waktu itu, sebelum akhirnya Lion Air di atas kostku meluncur pelan-pelan membuat semacam ketakutan-ketakutan di kepalaku. Waktu itu, keberangkatan kamu ke tempat kelahiranmu, ke Bangka, tepat ketika pagi masih menyisakan embun-embun dan kesejukan-kesejukan yang nikmat. Dan aku, waktu itu masih mimpi indah tentang kamu yang pada akhirnya ponselku mengagetkan aku, sebuah pesan dari kamu: Sampai ketemu ya kapan-kapan, aku pasti sering ke Jogja. Cepat-cepat aku keluar kost, mecoba untuk melihat pesawat itu, mungkin, paling tidak, aku dapat melihat kamu yang terakhir kalinya, mungkin kamu masih sempat melambaikan tangan untukku melalui jendela pesawat (ah, tidak mungkin kamu bisa melihat aku dari dalam pesawat. Mungkin ini hanya harapanku saja yang terlampau takut berpisah dengan kamu). Tapi mataku tak melihat sebuah lambaian tangan. Aku hanya melihat dan mendengar bunyi pesawat yang semakin jauh dari pandanganku. Saat itu juga, aku mulai membenci pesawat, apa lagi ketika pesawat itu tepat memecah tidur nyenyakku di pagi-pagi yang masih berkabut.
Kadang-kadang, bahkan sering aku membayangkan kamu ada bersamaku, bercerita indah tentang Bangka yang sudah sering kau ceritakan padaku waktu ketika kita masih sama-sama sering menghabiskan sisa hari di kantin kampus.
“Di kampungku banyak batu yang besar di dekat pantai seperti rumah,” ceritamu. Sore baru saja datang waktu itu, dan seperti biasa kita pun memesan coca cola atau minuman sejenisnya.
“Di kotaku, Bangka, Babel bo’, banyak kesenian-kesenian yang sangat indah. Kamu tidak akan bosan jika kamu suatu saat ke sana,” ucapmu lagi waktu itu setengah bercanda. Dan aku diam mendengar ceritamu yang begitu indah itu. Sekedarnya kumenikmati gerak bibirmu yang ayu.
“Maras Taun, Buang Jong, seni musik Dulmuluk, Begambus, Stambul dan banyak lagi tradisi dan kesenian Bangka lainnya yang sangat bagus.” Lanjut ceritamu waktu itu. Aku pun masih diam mendengarkan berbagai macam ceritamu tentang Bangka tanpa sedikit pun aku menampakkan risih terhadap banyak ceritamu itu.
“Di dekat rumah kamu ada nggak pantai yang bagus?” tanyaku padamu, lebih ingin tahu.
“Pantai yang dekat dengan rumahku itu banyak banget, dan hampir bagus semua, masih perawan lagi pantainya. Mulai dari pantai Peson, pantai Tikus, teluk Uber, Matras, pantai Tenggiri dan banyak lagi.” Jawabmu penuh bangga. Tentu dengan senyum tipis indah menghiasi bibir kamu. Dan aku ingin sekali ke Bangka, entah, apa karena kamu atau apa?
“Wah, aku jadi ingin tahu lebih dalam nich tentang Bangka, lebih khusus lagi kampung kamu, dan tentu aku ingin kamu...!” lanjut ucapku waktu itu, di sertai sedikit bercanda.
“Aku dulu pernah tinggal di kampung, nama kampung itu Tempilang. Di situ kalau bulan ruah ada acara, meriah banget, hampir semua orang Bangka atau Blitung datang ke kampung itu. Acara yang kaya’ gitu dilaksanakan setahun sekali, pokoknya seru...! Ada acara perang ketupat. Terus, sebelum perang itu dimulai ada tarian, namanaya taria Campak. Terus pakai taber-taberan. Ngerti taber-taberan nggak? Kalau nggak ngerti ya wes. Hehe! Nah, habis itu ada acara hiburan, biasanya ada artis. Selanjutnya....!” tiba-tiba kamu menghentikan ceritamu.
“Apa selanjutnya?” tanyaku penasaran.
“Bayar dulu dong, info itu berharga, hahaha”. Ceritamu sambil bercanda-tawa membuat aku semakin ingin ke Bangka. Hidup bersama kamu di sana. Tentunya.
Kita sering melakukan hal itu, kau dan aku bertukar banyak cerita, tentang kampungku di Pajagungan (kampung kecil di Sumenep Madura), tentang carok yang begitu melekat menjadi sebutan terhadap orang yang lahir di pulau yang sama denganku. Dan kamu selalu membuat suasana tampak tidak tegang ketika aku katakan “Aku nggak menyukai carok.” Kamu menimpali ucapanku sambil tertawa menampakkan gigimu yang berjejer rapi, yang serasi, sesuai dengan kulit putih agak China itu, “Carok yukk dengan aku,” ucapmu sambil memicingkan kedua mata yang sipit namun indah itu.
“Kau seperti wanita China, apa kau keturunan China?” tanyaku padamu.
“Kenapa kue tanya seperti itu, emang aku mirip China po?” kamu balik bertanya padaku dengan sedikit menggunakan bahasa Jawa.
“Kau mirip sekali dengan perempuan China,” ucapku kemudian.
“Aku bukan keturunan China, aku Melayu tulen.” jelasmu waktu itu. Beberapa menit kemudian, kita pergi meninggalkan kantin kampus, pulang ke kost masing-masing.
***
Aku memang ingin sekali datang ke Bangka untuk berkunjung ke kamu. Apa lagi tahun ini aku akan segera menyelesaikan skripsiku. Dan itu artinya, aku akan segera meninggalkan Jogja dan semua kenangan-kenangan kita.
Kamu telah lebih dulu menyelesaikan studimu, hingga akhirnya kamu pun lebih dulu juga meninggalkan aku yang masih terbata-bata menyerap berbagai macam pelajaran di kampus.
Pesan kamu waktu sebelum kamu pulang ke kota kelahiranmu masih berdenyut-denyuk di kepalaku. Bahwa kamu akan sering-sering ke Jogja. Tetapi, sudah satu tahun kamu tak muncul-muncul juga. Aku sangat ingin bertemu dengan kamu, mengulang kisah-kisah indah, bertukar cerita tentang keadaan tempat kelahiran masing-masing. Sungguh betapa aku sangat semakin kangen sama kamu, jika tiba-tiba kenangan-kenangan itu muncul di ingatanku seperti layar tancap mengisahkan kesedihan.
Dulu, beberapa minggu setelah kepergianmu, kita sering memberi kabar melalui ponsel, kadang juga kita sesekali saling telfon. Namun kini, prihal itu hampir tidak sama sekali kita lakukan. Mungkin karena kesibukan kita masing-masing yang membuat kita jarang bertanya kabar atau bercanda melalui telfon. Mungkin saja kamu merindukan aku sebagaimana aku merindukanmu kini. Atau mungkin kamu sudah tak menghiraukan aku?
Aku hanya bisa menduga-duga bagaimana keadaan kamu di sana. Kekhawatiran juga sering menyergapku tiba-tiba hingga aku terkadang larut dalam kesedihan-kesedihan. Kesedihan-kesedihan yang tak kutahu mengapa aku harus bersedih membayangkanmu menjadi milik orang lain.
Apakah mungkin karena aku selalu merindui kamu sampai aku selalu khawatir terhadap keadaan kamu di Bangka sana? Segala prasangka buruk itulah yang selalu membuat aku terlampau takut. Aku takut tiba-tiba, musim hujan seperti saat ini, membuat kamu berpaling dariku karena aku yang di sini tak bisa membuat tubuhmu hangat di tengah dinginnya musim hujan? Bukankah pernah kamu bercerita padaku bahwa perempuan tidak betah dengan dingin? Dan bisa jadi saat ini kamu tak pernah lagi merasakan dingin karena sudah ada seseorang di samping kamu? Dan tentu kamu akan segera melupakan aku jika itu yang terjadi. Namun, aku selalu yakin bahwa hujan tak membuat kamu berpaling dariku!
Apa yang sedang kau lakukan di sana? Mungkinkah semua dugaanku tentang kamu itu benar? Tapi sejauh ini aku masih selalu membayangkan kalau kamu saat ini masih merindukan aku sebagaimana aku yang selalu merindukan kamu.
Aku selalu berharap kamu dalam keadaan yang bahagia. Dan lebih dari itu, aku berharap kamu masih sendiri sebagaimana aku sendiri dengan keyakinan bahwa dalam waktu dekat ini, aku bisa datang ke Bangka untuk meminangmu menjadi pendamping hidupku. Kemudian, aku akan minta ijin pada orang tuamu untuk membawamu ke Jogja. Dan kita di Jogja, nanti, setelah menjadi sepasang suami-istri, mungkin, sambil melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Aku masih berfikir-fikir lagi bagaimana jika aku katakan saja padamu melalui pesan atau kutelfon saja kamu bahwa saat ini, sebentar lagi aku akan segera menyelesaikan skripsiku. Dan setelah aku diwisuda, aku akan segera menyiapkan pinangan ke kamu. Tapi aku selalu saja ragu untuk melakukannya. Perasaan-perasaan khawatir selalu saja menggagalkan rencanaku untuk menghubungimu. SMS yang baru saja aku terima dari kamu masih saja aku ragu untuk membalasnya. Sebenarnya aku ingin mengetik “Ya, sebentar lagi mungkin aku akan ke Bangka,” tapi selalu saja muncul dalam ingatanku pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sedih. Untuk menulis pesan “aku ingin meminangku” aku tak bisa. Banyak keraguan-keraguan muncul di kepalaku sebagai dugaan-dugaan nyata tentang keberadaan kamu di sana.
Mengapa tiba-tiba kamu mengatakan dalam pesanmu: aku tunggu di Bangka! Apa yang terjadi padamu di sana? Bukankah jauh-jauh hari sebelumnya aku tak pernah berkabar untuk datang ke kotamu?
Tak urung juga aku masih duduk terpaku di teras kostku, memikir-mikir apa yang harus aku katakan padamu di Bangka sana. Apa yang harus aku ketik di ponselku: apakah aku akan mengatakan saja bahwa aku akan segera meminangnya dalam waktu dekat ini? Lagi-lagi, secara tiba-tiba, ketakutan menyergapku membuatku gagal mengetik sebuah pesan penting itu. Apakah lebih baik aku tanya bagaimana kabarmu?
Baru saja aku akan mengetik pesan untuk bertanya kabar padamu, tiba-tiba ponselku berdering, muncul nama kamu di ponselku. Kamu calling: “Hallo,” ucapmu. Aku diam setengah kaget menahan debar mendengar suaramu yang begitu indah terdengar di telingaku.
“Ke Bangka seminggu lagi ya. Aku akan merayakan nyukur tiga puluh hari kelahiran anak pertamaku. Oh ya! Maafkan aku, aku lupa memberi kabar tentang pernikahanku ke kamu kemaren-kemaren. Tapi, aku bahagia kok!” lanjutmu.
“Bagaimana kabarmu?” lanjutmu lagi.
“Baik.” Balasku singkat. Mungkin suaraku sesak.
Kamu terus bercerita tentang bagaimana kamu di Bangka, tentang kehidupanmu yang penuh dengan bunga-bunga bersama seseorang yang menjadi bapak anakmu (tentu buah hatimu itu imut seperti kamu). Suaramu kudengar di ponselku penuh kebahagiaan, disertai tawa kegirangan tanpa sedikit pun beban. Dan aku, entahlah, apa yang terjadi terhadapku.
***
“Usahlah dikau kenang, kalau kau tak mau hidup gamang.”
Siapakah yang berkata itu? Tak ada siapa-apa. Bisa jadi aku. Ya bisa jadi?
Senin, 29 Desember 2008
Senin, 12 Mei 2008
Sajak-sajak Rachem Siyaeza
Kecap Bibirmu Hitamkan Malamku
sekuntum mawar
menyambut musim kasih
sepasang kumbang yang dendang dan terbang
di keharumannya
yang membawa nama-nama Tuhan
—kupanjangkan pandang
kala daunnya menahan petikan
petikan tanganmu yang tak juga jemu
menangkap semu rindu
sesemu pagi jika matahari
tak melepas cahayanya yang putih
ketika semua tercatat
sebagaimana kisah maria
yang tangisnya adalah luka
kau tawarkan apa yang telah kau buka
antara duri dan air mata
aku pun terbawa mati kecap bibirmu
sampai bunga pun juga mati
—yang itu adalah milikku
dan langit tempat pijak bintang dan bulan
seolah bukan lagi bagian awan untuk berdandan
sedang laut tempat ikan menyalam hidup
menjadikan nyala gelombangnya seakan redup
(aku dibuatmu padam
sehitam malam —lenggam)
Yogyakarta, 2008
Kau Tak Sembunyi
ini malam bercahaya terang —berkilau
memandikanku dengan rindu
—yang hujan di matamu.
kau tak sembunyi tapi aku tak berani ditatapmu
setelah selembar daun yang kusangka daunmu
menutup pandang.
mungkin bulan akan purnama
seperti kebaya yang melengkapi tubuhmu
dengan seikat bunga
tapi sepasang kelelawar akan meninggalkan
cahaya remang jika kau tak membuka mata
;membaca cinta.
malam melepas kunang-kunang
hinggap dan terbang menyulam banyang.
dan aku baca namamu yang sebenarnya tak perlu
karena akan jadikan perdu —jika pintu tak kau buka
inilah aku menyalammu
menyalam lingkar waktu
melambai tangan yang gemertar
tapi karena aku hindar
maka kau yang seindah mawar
sesempurna bulan bundar
tak dapat aku sentuh dengan segar
2008
Pecinta Menemukan Setia
ketika hujan dan kumbang
menghias bunga bunga mekar dengan nyanyi
dan di sebuah rintik dan sayapnya
kumaknai wanginya sebagai cahaya
—sebagai makna
yang terpendam di gairahnya
yang berwarna pelangi
lalu kutepis sebuah nasib
yang mengantarku padamu
sebagai pecinta menemukan setia
seperti tanpa arah —aku langkahkan kaki
agar dapat kuterka
setapak batu —serimbun ilalang
yang melintang
sebelum seberkas sinar menjadi petang
menutup mata, menghitamkan kata
yang akan kuucap sebagai permata.
(2008)
Embun Yang Kau Katakan Hatiku
embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau milikmu
rumput yang tumbuh
bersama turunnya adam dan hawa
juga menguncup bersama awan
yang memanggil bulan
bulan yang kini sedang menjemputmu
dan mengantarku menujumu yang aduh........
di dirimu aku mendengar suara merdu
lalu kumasuki segenggam mutiara
—sepukau cahaya.
pagi memanggil matahari
;ada air menetes dari langit
jatuh kepangkuan daun di bumi
matahari menerangi pematang ilalang,
serupa wajahmu yang juga terang:
menampakkan embun di daun-daun pandang
embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau —milikmu
Yogyakarta, 2008
Sungai Dalammu
sungai itu pun mengalir jauh
ketika waktu adalah air jernih dan tenang
maka kukenali lagi tanganku dalam mencapaimu
agar dapat kusentuh rindu itu
akan kuselami, hingga dalamnya rahasia
menghanyut daun-daun yang ada —sengaja
mungkin ini akan samar
jika senja sedang memangil malam
manakala burung-burung terbang mendendang
mengawang, seakan jadi pelangi
—di antara awan
melahirkan hujan pada hikayat
musim kawin ikan-ikan
bunga-bunga tumbuh di tepi sungaimu
segar karena subuh menyublimnya
dengan lagu rindu
tapi aku tak menemukan tempat untuk bungaku
supaya juga tumbuh seperti bunga-bunga dalammu
2008
Helai Rambutmu
helai rambutmu —benang merah yang mengikat lidahku
menjadi ranjau yang menjebakku
membuatku tak mampu mengucap perdu
mungkin jelmaan dari rindu
yang ada tanpa sengaja mengganggu
(kau —telah mendarat
di sebuah celah hatiku
yang tak sempat ku tutupi
hingga kau menyakiti)
aku tersekap oleh ranjaumu
2008
Rachem Siyaeza, lahir di Pajagungan, sebuah kampung kecil di ujung timur pulau Madura. Kini sedang melanjutkan Studi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakara. Aktif pada Lesehan Sastra Kutub dan Komunitas Kossong.
sekuntum mawar
menyambut musim kasih
sepasang kumbang yang dendang dan terbang
di keharumannya
yang membawa nama-nama Tuhan
—kupanjangkan pandang
kala daunnya menahan petikan
petikan tanganmu yang tak juga jemu
menangkap semu rindu
sesemu pagi jika matahari
tak melepas cahayanya yang putih
ketika semua tercatat
sebagaimana kisah maria
yang tangisnya adalah luka
kau tawarkan apa yang telah kau buka
antara duri dan air mata
aku pun terbawa mati kecap bibirmu
sampai bunga pun juga mati
—yang itu adalah milikku
dan langit tempat pijak bintang dan bulan
seolah bukan lagi bagian awan untuk berdandan
sedang laut tempat ikan menyalam hidup
menjadikan nyala gelombangnya seakan redup
(aku dibuatmu padam
sehitam malam —lenggam)
Yogyakarta, 2008
Kau Tak Sembunyi
ini malam bercahaya terang —berkilau
memandikanku dengan rindu
—yang hujan di matamu.
kau tak sembunyi tapi aku tak berani ditatapmu
setelah selembar daun yang kusangka daunmu
menutup pandang.
mungkin bulan akan purnama
seperti kebaya yang melengkapi tubuhmu
dengan seikat bunga
tapi sepasang kelelawar akan meninggalkan
cahaya remang jika kau tak membuka mata
;membaca cinta.
malam melepas kunang-kunang
hinggap dan terbang menyulam banyang.
dan aku baca namamu yang sebenarnya tak perlu
karena akan jadikan perdu —jika pintu tak kau buka
inilah aku menyalammu
menyalam lingkar waktu
melambai tangan yang gemertar
tapi karena aku hindar
maka kau yang seindah mawar
sesempurna bulan bundar
tak dapat aku sentuh dengan segar
2008
Pecinta Menemukan Setia
ketika hujan dan kumbang
menghias bunga bunga mekar dengan nyanyi
dan di sebuah rintik dan sayapnya
kumaknai wanginya sebagai cahaya
—sebagai makna
yang terpendam di gairahnya
yang berwarna pelangi
lalu kutepis sebuah nasib
yang mengantarku padamu
sebagai pecinta menemukan setia
seperti tanpa arah —aku langkahkan kaki
agar dapat kuterka
setapak batu —serimbun ilalang
yang melintang
sebelum seberkas sinar menjadi petang
menutup mata, menghitamkan kata
yang akan kuucap sebagai permata.
(2008)
Embun Yang Kau Katakan Hatiku
embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau milikmu
rumput yang tumbuh
bersama turunnya adam dan hawa
juga menguncup bersama awan
yang memanggil bulan
bulan yang kini sedang menjemputmu
dan mengantarku menujumu yang aduh........
di dirimu aku mendengar suara merdu
lalu kumasuki segenggam mutiara
—sepukau cahaya.
pagi memanggil matahari
;ada air menetes dari langit
jatuh kepangkuan daun di bumi
matahari menerangi pematang ilalang,
serupa wajahmu yang juga terang:
menampakkan embun di daun-daun pandang
embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau —milikmu
Yogyakarta, 2008
Sungai Dalammu
sungai itu pun mengalir jauh
ketika waktu adalah air jernih dan tenang
maka kukenali lagi tanganku dalam mencapaimu
agar dapat kusentuh rindu itu
akan kuselami, hingga dalamnya rahasia
menghanyut daun-daun yang ada —sengaja
mungkin ini akan samar
jika senja sedang memangil malam
manakala burung-burung terbang mendendang
mengawang, seakan jadi pelangi
—di antara awan
melahirkan hujan pada hikayat
musim kawin ikan-ikan
bunga-bunga tumbuh di tepi sungaimu
segar karena subuh menyublimnya
dengan lagu rindu
tapi aku tak menemukan tempat untuk bungaku
supaya juga tumbuh seperti bunga-bunga dalammu
2008
Helai Rambutmu
helai rambutmu —benang merah yang mengikat lidahku
menjadi ranjau yang menjebakku
membuatku tak mampu mengucap perdu
mungkin jelmaan dari rindu
yang ada tanpa sengaja mengganggu
(kau —telah mendarat
di sebuah celah hatiku
yang tak sempat ku tutupi
hingga kau menyakiti)
aku tersekap oleh ranjaumu
2008
Rachem Siyaeza, lahir di Pajagungan, sebuah kampung kecil di ujung timur pulau Madura. Kini sedang melanjutkan Studi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakara. Aktif pada Lesehan Sastra Kutub dan Komunitas Kossong.
Langganan:
Komentar (Atom)
