Senin, 12 Mei 2008

Sajak-sajak Rachem Siyaeza

Kecap Bibirmu Hitamkan Malamku

sekuntum mawar
menyambut musim kasih
sepasang kumbang yang dendang dan terbang

di keharumannya
yang membawa nama-nama Tuhan
—kupanjangkan pandang
kala daunnya menahan petikan

petikan tanganmu yang tak juga jemu
menangkap semu rindu
sesemu pagi jika matahari
tak melepas cahayanya yang putih

ketika semua tercatat
sebagaimana kisah maria
yang tangisnya adalah luka
kau tawarkan apa yang telah kau buka
antara duri dan air mata

aku pun terbawa mati kecap bibirmu
sampai bunga pun juga mati
—yang itu adalah milikku

dan langit tempat pijak bintang dan bulan
seolah bukan lagi bagian awan untuk berdandan
sedang laut tempat ikan menyalam hidup
menjadikan nyala gelombangnya seakan redup

(aku dibuatmu padam
sehitam malam —lenggam)

Yogyakarta, 2008


Kau Tak Sembunyi

ini malam bercahaya terang —berkilau
memandikanku dengan rindu
—yang hujan di matamu.

kau tak sembunyi tapi aku tak berani ditatapmu
setelah selembar daun yang kusangka daunmu
menutup pandang.

mungkin bulan akan purnama
seperti kebaya yang melengkapi tubuhmu
dengan seikat bunga

tapi sepasang kelelawar akan meninggalkan
cahaya remang jika kau tak membuka mata
;membaca cinta.

malam melepas kunang-kunang
hinggap dan terbang menyulam banyang.
dan aku baca namamu yang sebenarnya tak perlu
karena akan jadikan perdu —jika pintu tak kau buka

inilah aku menyalammu
menyalam lingkar waktu
melambai tangan yang gemertar

tapi karena aku hindar
maka kau yang seindah mawar
sesempurna bulan bundar
tak dapat aku sentuh dengan segar

2008


Pecinta Menemukan Setia

ketika hujan dan kumbang
menghias bunga bunga mekar dengan nyanyi
dan di sebuah rintik dan sayapnya
kumaknai wanginya sebagai cahaya
—sebagai makna
yang terpendam di gairahnya
yang berwarna pelangi

lalu kutepis sebuah nasib
yang mengantarku padamu
sebagai pecinta menemukan setia

seperti tanpa arah —aku langkahkan kaki
agar dapat kuterka
setapak batu —serimbun ilalang
yang melintang
sebelum seberkas sinar menjadi petang
menutup mata, menghitamkan kata
yang akan kuucap sebagai permata.

(2008)


Embun Yang Kau Katakan Hatiku

embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau milikmu

rumput yang tumbuh
bersama turunnya adam dan hawa
juga menguncup bersama awan
yang memanggil bulan

bulan yang kini sedang menjemputmu
dan mengantarku menujumu yang aduh........

di dirimu aku mendengar suara merdu
lalu kumasuki segenggam mutiara
—sepukau cahaya.

pagi memanggil matahari
;ada air menetes dari langit
jatuh kepangkuan daun di bumi

matahari menerangi pematang ilalang,
serupa wajahmu yang juga terang:
menampakkan embun di daun-daun pandang

embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau —milikmu

Yogyakarta, 2008


Sungai Dalammu

sungai itu pun mengalir jauh
ketika waktu adalah air jernih dan tenang

maka kukenali lagi tanganku dalam mencapaimu
agar dapat kusentuh rindu itu

akan kuselami, hingga dalamnya rahasia
menghanyut daun-daun yang ada —sengaja

mungkin ini akan samar
jika senja sedang memangil malam
manakala burung-burung terbang mendendang

mengawang, seakan jadi pelangi
—di antara awan
melahirkan hujan pada hikayat
musim kawin ikan-ikan

bunga-bunga tumbuh di tepi sungaimu
segar karena subuh menyublimnya
dengan lagu rindu

tapi aku tak menemukan tempat untuk bungaku
supaya juga tumbuh seperti bunga-bunga dalammu

2008


Helai Rambutmu

helai rambutmu —benang merah yang mengikat lidahku
menjadi ranjau yang menjebakku

membuatku tak mampu mengucap perdu
mungkin jelmaan dari rindu
yang ada tanpa sengaja mengganggu

(kau —telah mendarat
di sebuah celah hatiku
yang tak sempat ku tutupi
hingga kau menyakiti)

aku tersekap oleh ranjaumu

2008


Rachem Siyaeza, lahir di Pajagungan, sebuah kampung kecil di ujung timur pulau Madura. Kini sedang melanjutkan Studi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakara. Aktif pada Lesehan Sastra Kutub dan Komunitas Kossong.