Kecap Bibirmu Hitamkan Malamku
sekuntum mawar
menyambut musim kasih
sepasang kumbang yang dendang dan terbang
di keharumannya
yang membawa nama-nama Tuhan
—kupanjangkan pandang
kala daunnya menahan petikan
petikan tanganmu yang tak juga jemu
menangkap semu rindu
sesemu pagi jika matahari
tak melepas cahayanya yang putih
ketika semua tercatat
sebagaimana kisah maria
yang tangisnya adalah luka
kau tawarkan apa yang telah kau buka
antara duri dan air mata
aku pun terbawa mati kecap bibirmu
sampai bunga pun juga mati
—yang itu adalah milikku
dan langit tempat pijak bintang dan bulan
seolah bukan lagi bagian awan untuk berdandan
sedang laut tempat ikan menyalam hidup
menjadikan nyala gelombangnya seakan redup
(aku dibuatmu padam
sehitam malam —lenggam)
Yogyakarta, 2008
Kau Tak Sembunyi
ini malam bercahaya terang —berkilau
memandikanku dengan rindu
—yang hujan di matamu.
kau tak sembunyi tapi aku tak berani ditatapmu
setelah selembar daun yang kusangka daunmu
menutup pandang.
mungkin bulan akan purnama
seperti kebaya yang melengkapi tubuhmu
dengan seikat bunga
tapi sepasang kelelawar akan meninggalkan
cahaya remang jika kau tak membuka mata
;membaca cinta.
malam melepas kunang-kunang
hinggap dan terbang menyulam banyang.
dan aku baca namamu yang sebenarnya tak perlu
karena akan jadikan perdu —jika pintu tak kau buka
inilah aku menyalammu
menyalam lingkar waktu
melambai tangan yang gemertar
tapi karena aku hindar
maka kau yang seindah mawar
sesempurna bulan bundar
tak dapat aku sentuh dengan segar
2008
Pecinta Menemukan Setia
ketika hujan dan kumbang
menghias bunga bunga mekar dengan nyanyi
dan di sebuah rintik dan sayapnya
kumaknai wanginya sebagai cahaya
—sebagai makna
yang terpendam di gairahnya
yang berwarna pelangi
lalu kutepis sebuah nasib
yang mengantarku padamu
sebagai pecinta menemukan setia
seperti tanpa arah —aku langkahkan kaki
agar dapat kuterka
setapak batu —serimbun ilalang
yang melintang
sebelum seberkas sinar menjadi petang
menutup mata, menghitamkan kata
yang akan kuucap sebagai permata.
(2008)
Embun Yang Kau Katakan Hatiku
embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau milikmu
rumput yang tumbuh
bersama turunnya adam dan hawa
juga menguncup bersama awan
yang memanggil bulan
bulan yang kini sedang menjemputmu
dan mengantarku menujumu yang aduh........
di dirimu aku mendengar suara merdu
lalu kumasuki segenggam mutiara
—sepukau cahaya.
pagi memanggil matahari
;ada air menetes dari langit
jatuh kepangkuan daun di bumi
matahari menerangi pematang ilalang,
serupa wajahmu yang juga terang:
menampakkan embun di daun-daun pandang
embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau —milikmu
Yogyakarta, 2008
Sungai Dalammu
sungai itu pun mengalir jauh
ketika waktu adalah air jernih dan tenang
maka kukenali lagi tanganku dalam mencapaimu
agar dapat kusentuh rindu itu
akan kuselami, hingga dalamnya rahasia
menghanyut daun-daun yang ada —sengaja
mungkin ini akan samar
jika senja sedang memangil malam
manakala burung-burung terbang mendendang
mengawang, seakan jadi pelangi
—di antara awan
melahirkan hujan pada hikayat
musim kawin ikan-ikan
bunga-bunga tumbuh di tepi sungaimu
segar karena subuh menyublimnya
dengan lagu rindu
tapi aku tak menemukan tempat untuk bungaku
supaya juga tumbuh seperti bunga-bunga dalammu
2008
Helai Rambutmu
helai rambutmu —benang merah yang mengikat lidahku
menjadi ranjau yang menjebakku
membuatku tak mampu mengucap perdu
mungkin jelmaan dari rindu
yang ada tanpa sengaja mengganggu
(kau —telah mendarat
di sebuah celah hatiku
yang tak sempat ku tutupi
hingga kau menyakiti)
aku tersekap oleh ranjaumu
2008
Rachem Siyaeza, lahir di Pajagungan, sebuah kampung kecil di ujung timur pulau Madura. Kini sedang melanjutkan Studi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakara. Aktif pada Lesehan Sastra Kutub dan Komunitas Kossong.
Senin, 12 Mei 2008
Langganan:
Postingan (Atom)