Rabu, 21 Januari 2009

Lelaki Pagi


Cerpen Rachem Siyaeza

Apa yang harus kamu lakukan? Bahkan kamu tidak tahu bagaimana cara kamu menyembunyikan perasaan setiap kali lelaki itu lewat di depan rumah kamu. Karenanya pula tiba-tiba kamu begitu menyukai pagi, padahal kamu pernah sangat membenci pagi.
Ini untuk yang kesekian kalinya ia ingin ikut lelaki itu. Ia ingin menemaninya jalan pagi, menikmati embun-embun, bercakap-cakap tentang apa saja yang lelaki itu dapatkan dari aktivitas jalan-jalan setiap pagi. Tapi, tetap saja ia tak bisa. Ia masih harus menunggu suaminya untuk menciumi keningnya sebelum sang suami berangkat kerja.
O, mengapa pula ia harus memikirkan lelaki itu? Bukankah masih banyak pekerjaan yang mesti dilakukan? Ah, kenapa mesti nikmat saat melihat keringat di kening lelaki itu? Keringat yang basah karena lari-lari kecil yang dia dilakukan. Lelaki bertubuh tak begitu tinggi, namun jika dibandingkan dengan ia, masih lebih tinggi lelaki itu. Lelaki itu mampu memikat hatinya, sehingga sering kali ia hampir kepergok sang suami sewaktu ia diam-diam mengagumi tubuh lelaki itu. Untung saja ia cepat berlagak kaget saat senyumnya ia lemparkan pada lelaki itu, dengan pura-pura memandangi rumput-rumput. Dengan sigap ia sembunyikan senyum sebelum suaminya tahu.
Lelaki itu tampak saat pagi masih berkabut. Saat matahari masih malas untuk terbit. Dia terlihat sudah sangat bugar, barangkali air hangat telah dia siramkan ke tubuhnya, rambutnya juga sedikit basah. Atau paling tidak lelaki itu telah cuci muka sebelum keluar rumah jalan pagi. Dan ia, mungkin secara tiba-tiba, atau sengaja, ia ingin melihatnya berlama-lama. Bahkan ia seperti mempunyai kewajiban untuk membuka gorden jendela untuk melihat lelaki itu lewat di depan rumahnya. Setiap ia lakukan itu, pasti ia selalu mencoba melirik kebelakang. Dan setelahnya, ia merasa sedikit lega, karena sang suami masih tidur.
Ketika ia melihat lelaki itu lari kecil di depan rumahnya, ia ingin sekali memanggil dan menyuruh lelaki itu untuk berhenti sejenak. Ia ingin menyuruh lelaki itu menunggu karena ia ingin ikut jalan-jalan pagi bersamanya. Ia ingin berlari kecil bersamanya sambil menikmati pagi. Tapi, tetap saja ia selalu menurunkan tangan saat ingin memanggil lelaki itu. Perasaannya tak menentu. Penuh kalut. Takut suaminya bangun dan menemukan apa yang telah ia lakukan. Takut sang suami tahu bahwa ia bukan sedang memandangi rumpur dari dalam jendela, melainkan memandangi lelaki itu. Ah, mungkinkah suatu hari nanti aku bisa menemani lelaki itu jalan pagi sambil lari-lari kecil, pikirnya kadang-kadang. Tiba-tiba, dan selalu ia ingat bahwa sebentar kemudian suaminya akan segera bangun dan ia harus segera mengucap “selamat pagi sayang”.
Setiap pagi, ia harus mengucapkan kata itu dengan penuh gairah. Penuh perasaan. Ya, ia khawatir jika ia ucapkan dengan malas, suaminya bakal tahu bahwa ia diam-diam menyimpan perasaan untuk orang lain.
Bagaimana kamu menyembunyikan perasaan itu? Matamu tak akan mungkin mampu menyembunyikannya. Matamu tidak sebagaimana perkataan yang masih bisa dibolak balik. Tapi, mengapa kamu harus menyembunyikannya, bukankah kamu senang dengan datangnya pagi?
Ia tampak sedikit takut. Pikirannya sedikit berkabut, jika saat sebelum suaminya pergi. Saat sang suami mengecupi keningnya dan menatap ke matanya yang terlalu polos, ah, terlalu jujur mata itu. Maka, ia cepat membuang pandang sebelum suaminya curiga apa-apa. Dengan sedikit senyum, ia mengatakan pada sang suami “mas jangan lupa ya, aku belikan buah-buahan. Jangan terlambat makan pagi di kantor” ia mengatakan itu begitu saja. Bahkan sebelumnya ia tak pernah mengatakannya. Tapi, ia cukup lega karena sang suaminya tak menanyakan tentang apa-apa, tentang sedikit wajah ketakutannya.
Suaminya menjawab dengan anggukan. Dan menyecupi keninggnya lagi setelah akhirnya sang suami hilang di balik daun pintu, dan mobil segera menderu. Suaminya berangkat kerja.
Ia terbiasa makan pagi sendiri karena suaminya selalu berangkat pagi, sehingga untuk makan pagi dengan suaminya, tak bisa. Kadang ia befikir, andai saja lelaki itu menemaninya.
Dalam hati ia berharap lelaki itu tetap ada setiap pagi. Tetap berlari kecil, sesekali memandangi dirinya yang melihat dia dari dalam jendela. Mungkin juga sedikit kata-kata yang membuat pagi sedikit bergairah “mari Mbak, selamat pagi”.
Pernah suatu pagi, pagi yang sama. Lelaki itu tak ia lihat berjalan pagi. Ia sangat lama memandang ke luar dari dalam melalui jendela kamar. Ia kelihatan gusar. Gelisah. Ia lirik ke belakang, suaminya masih tidur nyenyak di ranjang karena semalam waktu itu mereka habis bercinta. Ia semakin gelisah. Kemana lelaki itu? Kenapa ia tak jalan pagi? Apa ia ketiduran? Atau mungkinkah ia telah berhenti selamanya untuk jalan dan lari-lari kecil? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyerbu pikiran-pikirannya. Namun ia buru-buru menyembunyikannya, takut sang suami tahu tentang sebab gelisahnya.
Cepat-cepat ia atur nafar yang semula tak menentu. Karena tiba-tiba ia dikagetkan oleh suaminya yang telah bangun di belakang “selamat pagi sayang” ia berucap dengan nada agak bergairah, namun di mukanya nampak perasaan lesu. Nampak perasaan merasa kehilangan.
“kenapa kamu sayang, apakah kamu sakit?” tanya suaminya waktu itu.
“aku gak apa-apa mas” jawabnya.
“Tapi kenapa kamu sedih” tanya lagi sang suami.
“Aku hanya perlu sedikit cuci muka”. Lalu ia beranjak dari dekat jendela buru-buru pergi karena khawatir suaminya menatap matanya. Ia menghindari suaminya menatap matanya karena takut sang suami membaca perasaannya.
Untung saja di pagi-pagi setelahnya lelaki itu tetap ada. Masih ada berjalan pagi dengan lari-lari kecil. Dan ia senang karena lelaki itu hanya hari itu saja tak ada. Namun, ia harus selalu berpura-pura memandangi rumput di halaman agar suaminya tidak tahu bahwa ia sedang memandangi seseorang yang sedang lewat di depan rumahnya.
***
Apa yang tidak bisa di dunia ini? Segalanya pasti bisa, apa lagi hanya sekedar menghampiri lelaki itu. Kamu sudah tak kuat ingin tahu lebih dalam tentang lelaki itu. Ah, tapi mengapa perasaanmu begitu sesak ketika harus melambaikan tangan untuk memanggil lelaki itu.
Pada akhirnya ia merencanakan sesuatu. Ia berencana untuk menemui lelaki itu, tepat esok pagi ketika dia lewat di depan rumahnya. Ia akan menghentikan lelaki itu dan akan mengajaknya berbincang-bincang ringan. Ia ingin tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Atau masih bujangkah dia? Ah!
Bagaimana suami kamu, apa mungkin dia tidak akan curiga sesuatu jika kamu benar-benar melakukan itu?
Ia akan mencabuti rumput liar-liar yang sepertinya sudah agak lama tak diurus di halaman depan. Bahkan jalan hampir tertutupi rumput. Kadang lelaki itu memandangi rumput itu sesaat sebelum dia memandang padanya yang berdiri di dalam rumah di balik gorden jendela. Dengan demikian, suaminya tidak akan curiga apa-apa. Mungkin akan senang sang suami jika melihat dirinya bersih-bersih halaman.
Pagi kini, baginya sungguh sangat indah. Terlampau indah. Ia tak mengutuki pagi lagi setelah lelaki itu memberinya debar di hatinya. Dulu pernah ia sangat membenci pagi. Bermula dari kejadian itu. Ya, kejadian di mana ia tiba-tiba menemukan dirinya berada di sebuah tempat yang menakutkan. Waktu itu, saat ia masih kecil, ia merengik menangis tanpa sebab apa pun tengah malam ketika ayah dan ibunya tidur nyenyak. Mereka terbangung kaget mendengar tangisan dirinya. Dan itu, membuat ayahnya marah sehingga dengan kasar menggendongnya dan membawanya pergi ke sebuah tempat. Tempat yang ia kini kutuk. Oleh ayahnya ia ditinggal di tempat itu. Ah, tempat menyeramkan ketika malam datang, agak jauh dari rumahnya. Di situlah sang ayah meninggalkan dirinya terisak-isak. Untung tak terjadi apa-apa padanya. Dan pada paginya sang ayah datang menjemputnya, membawanya pulang ke rumah dengan gendongan yang sangat kasar.
Di rumah ia melihat ibu sedih, kulit ibunya memar seperti habis dicambuk. Ibunya diam saat itu. Ayahnya memaki-maki ibunya tanpa jelas apa yang dikatakan. Yang ia tahu setelah pagi itu, sang ayah tak pernah lagi kembali, ia pergi dengan meninggakalkan kata “talak” kepada ibunya. Mulai pagi itu, ia sangat benci pada pagi. Pagi baginya begitu menyeramkan setelah kejadian itu. Hingga pada akhirnya ia kembali menyukai pagi setelah lelaki itu tiba-tiba memberikan perasaan-perasaan nikmat padanya. Sungguh lelaki itu, lelaki pagi yang membuatnya senang.
***
Pagi-pagi benar ia bangung. Ia bangun lebih pagi dari biasanya. Ia lihat suami di sampingnya masih nyenyak tidur. Dan tak banyak fikir lagi, ia gerakkan tubuhnya dan segera beranjak mengambil peratan kebun secukupnya. Saat fajar baru menyingsing, ia sudah bermain-main dengan rumput. Wajahnya girang. Penuh kebahagiaan.
Namun, detak jangtungnya sulit diatur. Juga keningnya mengerluarkan keringat agak dingin. Sebentar lagi, pasti lelaki itu akan segera lewat tepat di depanku yang sedang membereskan rumput-rumput liar, pikirnya. Dan ia tak akan banyak fikir lagi, ia akan langsung menyapa lelaki itu.
Ah, ia tampak cemas. Seakan suaminya menatap dirinya dari dalam rumah dengan tatapan tajam. Dan ia akan merasa sangat bersalah karena meninggalkan suaminya sebelum bangun, sebelum ia mengucapkan: selamat pagi sayang. Ia semakin cemas seolah suaminya kini tahu bahwa ia hanya beralasan membersihkan rumput. Dengan rasa berat dan perasaan tak menentu ia tatap jendela tempat ia memandang lelaki itu dari dalam ketika lelaki itu jalan pagi di jalan depan rumahnya, dan ternyata suaminya sedang berdiri di situ, sedang memandang dirinya. Betapa ia terkejut setengah mati. Hampir ia tak sanggup menyembunyikan rasa gelisahnya yang sejak tadi menyerangnya. Sang suami tersenyum senang. Dan ia merasa sedikit lega. Ah, untung suaminya tak curiga apa-apa.
Tapi kenapa lelaki itu tak ada? Tak berlari-lari kecil? Nyalinya menciut menerima kenyataan lain. Matahari di timur sudah mulai terlihat, tapi lelaki itu tak juga muncul. Dan buru-buru ia cabuti rumput liar dengan perasaan tak semangat. Perasaan gusar dan jengkel, dengan gerutuan kecil yang keluar dari mulutnya. Lalu, ia masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian sang suaminya pamit berangkat kerja, dan tentu saja diciuminya keningnya.
***
Sudah lebih satu minggu lelaki itu tak lagi berjalan di depan rumahnya. Tak ada lagi lari-lari kecil yang dia lakukan. Setiap ia tatap jalan di depan rumahnya itu, ia hanya mendapatkan kekosongan. Kehampaan. Ia tak mendapatkan perasaan debar yang terlampau nikmat seperti saat lelaki itu masih berjalan pagi di depan rumahnya. Ia juga semakin tak memiliki gairah saat bercinta dengan suaminya. Dan lambat laun, ia mulai mengutuk pagi, mulai membenci pagi. Bahkan pada akhirnya, lebih benci lagi, dan lebih benci. Ia amat sangat benci terhadap pagi.

Yogyakarta, September 2008

1 komentar:

Rachem Siyaeza mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.