Rabu, 28 Januari 2009

Rasti


Cerpen Rachem Siyaeza

Apa yang terjadi pada Rasti di hari yang semestinya berbahagia. Di hari ini, ia seharusnya menebar senyum untuk semua orang. Tapi, sepertinya hari suka cita ini baginya seperti hujan deras yang mendatangkan banyak penyakit. Atau mungkin seperti malaikat yang akan segera mencabut nyawa. Prihal kebahagiaan banyak orang ini justru sebaliknya bagi Rasti.
Ia telah ditunggu banyak orang di luar. Pasangan lelakinya dengan keris di punggung dan blangkon menutupi kepalanya, serta sedikit tambahan kumis palsu menghiasi wajahnya sudah menunggu untuk menjadi raja di samping Rasti.
Tapi kenapa hari ini seperti tak pernah Rasti harapkan. Sama dengan perempuan-perempuan lain ketika akan tiba saatnya berkeluarga, semuanya sedih, tak terkecuali Rasti. Perempuan di kampungnya hanya bisa menangis, di hari bahagia bagi orang tuanya. Dan lelaki tak peduli akan kesedihan kaum perempuan.
Lelaki lebih perkasa dan kuasa untuk memilih calon istrinya. Mereka, kaum lelaki tinggal menunjuk jari dan menyebut nama perempuan yang diinginkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Dengan waktu yang cukup singkat, sang perawan dengan leluasa dapat dimilikinya dengan sempurna.
Kaum perempuan hanya bisa mengintip di lubang kunci pintu kamarnya saat ada lelaki yang menemui orang tuanya, melamar (tentu dengan juru bicaranya) anak perawannya tanpa bisa menentukan pilihan. Jika sang orang tua menerima lamaran itu, tak dipedulikan lagi apa sang anak mau atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah menerima dengan pertimbangan yang tidak begitu matang. Bagi mereka para orang tua, jika yang melamar cukup mampu untuk mengisi bahan-bahan dapur, menambah isi ruang tamu, mengganti lantai dengan keramik, tentulah itu cukup dijadikan sebagai alasan untuk menjadikan ia menantunya.
Seperti perempuan kebanyakan, Rasti seolah budak murahan yang bisa dibeli dengan harga mas satu gram, bahkan kurang dari ukuran itu. Dan laki-laki berjaya, bertindak sebagai pembeli, bertindak sebagai seorang raja yang berhati batu. Padahal perempuan mana saja tak ingin dijual belikan berapa pun harganya. Tentu Rasti tak setuju dengan prihal semacam itu.
Bagi laki-laki yang kesehariannya menjemur badan dengan keringat kuning yang hanya dihargai dua puluh lima ribu sehari, tak kan mampu meluluhkan hati orang tua sang perawan. Lebih dari itu, anak perjaka dari orang tua pemilik kebun dan sawah berpuluh hektar itulah yang akan menang dalam memiliki sang perawan.
Hari ini, ketika fajar belum sepenuhnya dikalahkan cahaya mentari, ibu, ayah, nenek, kakek dan semua keluarga bersuka cita melihat kursi raja dan kursi ratu, kursi pelaminan biru, berada di halaman yang telah disulap sedemikian rupa dengan bunga-bunga, kenduren terbaik, tulisan semacam “semoga bahagia”, bola-bola dari kertas warna-warni menggantung sana-sini, dan banyak lagi. Mereka amat sangat bangga melihat semua itu, apa lagi melihat sang anak perempuannya, Rasti, di dalam kamar didandan oleh tukang hias kelas terkemuka di kampung. Gaun putih yang dipakai Rasti membuatnya seperti bidadari. Kuku-kukunya dicat dengan merah mudah, rambutnya disanggul, bulu matanya dilentikkan (masyarakat urban menyebutnya eyeliner), dan di tepian matanya, maskara membuat Rasti semakin cantik. Bibirnya bersolek dengan lisptik merah tidak begitu menyala. Rasti bagai seorang ratu hari ini. Dan pastinya, saat matahari tidak begitu tinggi Rasti dan pengantin laki-lakinya, akan duduk berdua dengan senyum tak pernah reda.
***
Rasti, aku masih ingat di waktu kita diam-diam bertemu di belokan jalan yang sepi itu. Tanpa teman seorang pun yang kau bawa dan aku juga sendiri meski resikonya sangat besar; kau dan aku akan diusir dengan cara tak terhormat dari kampung. Tapi, untung tak ada yang tahu pertemuan itu.
“Akan kuberikan padamu nanti di malam pertama.” ucapmu dengan malu manja waktu itu.
“Mudah-mudahan.” Jawabku penuh ragu.
Ya Rasti, aku ragu waktu itu. Sebab, aku telah tahu sesuatu, dan kau tak mengetahuinya. Rasti, di sebuah pagi yang belia, ada seorang perjaka memasuki rumahmu dan aku melihat ayahmu masih bermata merah karena kantuknya belum pergi. Dan kau waktu itu pergi ke sungai untuk mencuci dengan teman-teman sebayamu yang memiliki nasib tak jauh beda denganmu. Rasti, aku mengintip kejadian itu di belakang sebatang pohon kelapa tak jauh dari rumahmu.
Dengan tergesa ayahmu memasang baju waktu itu. Lalu, mempersilahkan sang perjaka dan orang agak tua berwibawa, yang mengantar sang perjaka itu untuk memintamu. Tak lama kemudian terjadi kesepakatan, dan senyum bahagia menghiasi wajah mereka.
Maka Rasti, benar kiranya aku meragukan tak kan kesampain terhadap apa yang kau ucap di pertemuan di belokan jalan itu.
Dan hal lain yang juga masih aku ingat benar Rasti, di pertemuan kita itu, kau bercerita tentang sepupu perempuanmu. Ia dijodohkan orang tuanya dengan anak pemilik kebun kelapa yang hampir semua kebun di kampungmu dimilikinya. Tapi sepupumu itu memilih mati dari pada menikah dengan orang yang tidak dicintainya meski itu suaminya. Ia bunuh diri dengan racun yang digenggamnya saat sang suami mau menjamahnya.
Waktu itu, entahlah, aku tak cukup pandai membaca wajah dan ketergesa-gesaanmu, kenapa tiba-tiba kau dengan tergesa pamit pulang. Padahal Rasti, waktu itu rinduku belum sepenuhnya terobati, dan satu hal lagi, masih banyak yang ingin aku bicarakan.
Rasti, dan kini, tak perlu aku tanyakan padamu apa artinya kepamitanmu yang tiba-tiba saat itu. Dengan genangan air di matamu, dan sesungging senyum buatan di bibirmu, aku cukup bisa membaca; kau tak punyak pilihan selain menjadikan peristiwa di belokan jalan itu sebagai kenangan. Juga aku.
Kini, kau telah sepenuhnya menjadi ratunya. Kau dan dia, anak pemilik kebun kelapa yang tak jauh kayanya dengan orang yang menikahi sepupumu itu, telah duduk bagai raja dan ratu di kursi mempelai. Orang-orang pada tertegun memandangmu. “Rasti, kau sungguh seperti bidadari,” begitulah orang-orang yang hadir di hari pengantinmu berucap, tak terkecuali aku. Sungguh itu semua mengingatkanku pada beberap waktu yang lalu saat bersama kamu di pertemuan lain tetap di belokan jalan itu.
“Rasti, kau cantik. Tak berlebihan jika dikatakan seperti bidadari.” Ucapku memuja.
Kau tersipu saat itu. Malu-malu manja. Senyummu terlempar kepadaku.
Benar, tak salah jika aku katakan padamu, kau seperti bidadari, sebab kau lebih sempurna dari teman-teman perempuanmu. Teman perempuanmu yang senasib sepertimu. Tapi, ah, kebanyakan dari mereka sebaliknya dari sepupumu yang pernah kau ceritakan padaku dulu. Mereka tersenyum bahagia saat kesedihannya memuncak. Saat laki-laki yang melamarnya telah resmi menjadi suaminya. Mereka keluar pagi hari setelah malam pertamanya dengan senyum dan bahagia disertai sang suami di sampingnya, menemaninya jalan-jalan pagi. Dan tentulah sang kekasih yang gagal memilikinya karena suatu hal yang tentu saja kau tahu, cukup lega karena sang kekasih yang gagal dimilikinya itu, tidak melakukan bunuh diri seperti sepupu perempuanmu itu.
Sang kekasih malam itu, kekasih yang harus menerima kenyataan bahwa perempuannya bukan lagi untuknya, tak bisa menutup mata ketika malam pertama pernikahan perempuannya itu, dengan sang suami yang tentunya bukan dia. Pagi-pagi pula ia megintip di antara pohon kelapa untuk memastikan apakah kebasahan rambut sang perempuannya yang pernah bejanji untuk hidup semati, di sertai sesungging tawa bahagia atau tidak? Jawabannya tak jauh beda, rambut basah dan sesungging tawa bahagia. Begitulah jawabannya setiap prihal itu terjadi. Dan ia, lelaki malang itu, di tengah remuk redamnya, masih bisa merasakan bahagia karena sang kekasih yang berjemur pagi bersama suaminya itu tidak bunuh diri seperti sepupumu yang kau ceritakan padaku di pertemuan diam-diam di belokan jalan itu.
***
Tanpa terasa hari mulai senja, bayangan pohon kelapa mulai memanjang ke timur, berdempetan sesama bayangannya. Matahari semakin merunduk ke arah barat. Orang-orang sebagian telah pulang, tak lupa mereka memberikan yang dibawanya, “kado pernikahan”. Rasti dan suaminya turun dari singgasana kursi pelaminan biru penganten, berdiri di pintu halaman tempat lewatnya para tamu pulang. Menyalami mereka. Tak lupa juga Rasti menyalami seseorang itu, seseorang malang itu, yang juga pulang bersama mereka para tamu undangan.
Saat Rasti menyalami seseorang itu, seseorang yang tentu masih ia ingat, betapa pertemuan di belokan jalan itu seperti tumbuh di kepala Rasti. Ia sepertinya ingin mengikuti langkah seseorang itu. Tapi, ia perempuan yang telah resmi menjadi milik orang. Cinta dan janji pun tak ada artinya bila keinginan para orang tua telah terpenuhi.
Dan kini, kedua orang tuanya cukup bahagia melihat anaknya menikah dengan perayaan yang tentu meriah. Dan lebih dari itu, dapur tak akan pernah lagi kosong, ruang tamu tidak akan lagi malu untuk dijadikan tempat bersua antar para pemilik sawah dan hektaran kebun kelapa. Lantai yang pecah-pecah tersulap menjadi lantai keramik yang berkilau.

***
Malam rebah. Bulan setengah bundar mengintip di celah pokok batang kelapa. Ada rintik gerimis tidak begitu tebal, namun awet. Kunang-kunang bertebaran. Malam pertama bagi Rasti dan suami pilihan orang tuanya.
Rasti hanya bisa pasrah (atau mungkin memang menunggu) pada sang laki-laki ketika malam itu mulai bertandang. Ketika tangannya ditarik memasuki kamar yang tak lupa dihiasi melati dan berbagai macam bunga harum, kasur baru empuk yang penuh dengan berbagai macam hias, serta minyak-minyak wangi seakan melelapkannya dalam pelukan hangat. Dan barulah Rasti bisa menangis (atau mungkin tertawa bahagia) setelah semuanya terjadi. Entahlan. Niatnya sewaktu ia masih berhubungan dengan kekasihnya, tak kan lagi pernah terwujud.
Dan seseorang itu, sama dengan laki-laki yang kesehariannya menjemur badan dengan keringat kuning yang hanya dihargai dua puluh lima ribu sehari. Seseorang itu tak bisa menutup mata di malam pertama Rasti. Bahkan saat matahari dan fajarnya berkibar di timur. Sama juga dengan mereka para lelaki yang kalah memiliki sang perawan karena suatu hal yang tentu Rasti tahu apa sebabnya. Pagi-pagi, seseorang itu mengintip Rasti di antara pohon kelapa untuk memastikan apa yang terjadi pada Rasti setelah melewati malam pertama. Apakah Rasti berjemur dengan rambut basah dengan suaminya, si anak kebun kelapa itu? Dan pastinya tak lupa juga diintip tawanya. Tawa bahagia atau tidak.
Seperti perempuan kebanyakan, Rasti berjemur pagi bersama suaminya dengan rambut basah.
Dan ia, seseorang itu, seperti laki-laki malang yang lain, jawaban yang didapatkannya tak jauh beda dengan mereka. Rambut Rasti basah dengan sesungging tawa bahagia. Dan seseorang itu, di tengah remuk-redamnya, cukup lega karena Rasti tidak bunuh diri seperti sepupunya.

Yogyakarta, Juni 2008 – Februari 2009

Tidak ada komentar: