Rabu, 28 Januari 2009

Rasti


Cerpen Rachem Siyaeza

Apa yang terjadi pada Rasti di hari yang semestinya berbahagia. Di hari ini, ia seharusnya menebar senyum untuk semua orang. Tapi, sepertinya hari suka cita ini baginya seperti hujan deras yang mendatangkan banyak penyakit. Atau mungkin seperti malaikat yang akan segera mencabut nyawa. Prihal kebahagiaan banyak orang ini justru sebaliknya bagi Rasti.
Ia telah ditunggu banyak orang di luar. Pasangan lelakinya dengan keris di punggung dan blangkon menutupi kepalanya, serta sedikit tambahan kumis palsu menghiasi wajahnya sudah menunggu untuk menjadi raja di samping Rasti.
Tapi kenapa hari ini seperti tak pernah Rasti harapkan. Sama dengan perempuan-perempuan lain ketika akan tiba saatnya berkeluarga, semuanya sedih, tak terkecuali Rasti. Perempuan di kampungnya hanya bisa menangis, di hari bahagia bagi orang tuanya. Dan lelaki tak peduli akan kesedihan kaum perempuan.
Lelaki lebih perkasa dan kuasa untuk memilih calon istrinya. Mereka, kaum lelaki tinggal menunjuk jari dan menyebut nama perempuan yang diinginkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Dengan waktu yang cukup singkat, sang perawan dengan leluasa dapat dimilikinya dengan sempurna.
Kaum perempuan hanya bisa mengintip di lubang kunci pintu kamarnya saat ada lelaki yang menemui orang tuanya, melamar (tentu dengan juru bicaranya) anak perawannya tanpa bisa menentukan pilihan. Jika sang orang tua menerima lamaran itu, tak dipedulikan lagi apa sang anak mau atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah menerima dengan pertimbangan yang tidak begitu matang. Bagi mereka para orang tua, jika yang melamar cukup mampu untuk mengisi bahan-bahan dapur, menambah isi ruang tamu, mengganti lantai dengan keramik, tentulah itu cukup dijadikan sebagai alasan untuk menjadikan ia menantunya.
Seperti perempuan kebanyakan, Rasti seolah budak murahan yang bisa dibeli dengan harga mas satu gram, bahkan kurang dari ukuran itu. Dan laki-laki berjaya, bertindak sebagai pembeli, bertindak sebagai seorang raja yang berhati batu. Padahal perempuan mana saja tak ingin dijual belikan berapa pun harganya. Tentu Rasti tak setuju dengan prihal semacam itu.
Bagi laki-laki yang kesehariannya menjemur badan dengan keringat kuning yang hanya dihargai dua puluh lima ribu sehari, tak kan mampu meluluhkan hati orang tua sang perawan. Lebih dari itu, anak perjaka dari orang tua pemilik kebun dan sawah berpuluh hektar itulah yang akan menang dalam memiliki sang perawan.
Hari ini, ketika fajar belum sepenuhnya dikalahkan cahaya mentari, ibu, ayah, nenek, kakek dan semua keluarga bersuka cita melihat kursi raja dan kursi ratu, kursi pelaminan biru, berada di halaman yang telah disulap sedemikian rupa dengan bunga-bunga, kenduren terbaik, tulisan semacam “semoga bahagia”, bola-bola dari kertas warna-warni menggantung sana-sini, dan banyak lagi. Mereka amat sangat bangga melihat semua itu, apa lagi melihat sang anak perempuannya, Rasti, di dalam kamar didandan oleh tukang hias kelas terkemuka di kampung. Gaun putih yang dipakai Rasti membuatnya seperti bidadari. Kuku-kukunya dicat dengan merah mudah, rambutnya disanggul, bulu matanya dilentikkan (masyarakat urban menyebutnya eyeliner), dan di tepian matanya, maskara membuat Rasti semakin cantik. Bibirnya bersolek dengan lisptik merah tidak begitu menyala. Rasti bagai seorang ratu hari ini. Dan pastinya, saat matahari tidak begitu tinggi Rasti dan pengantin laki-lakinya, akan duduk berdua dengan senyum tak pernah reda.
***
Rasti, aku masih ingat di waktu kita diam-diam bertemu di belokan jalan yang sepi itu. Tanpa teman seorang pun yang kau bawa dan aku juga sendiri meski resikonya sangat besar; kau dan aku akan diusir dengan cara tak terhormat dari kampung. Tapi, untung tak ada yang tahu pertemuan itu.
“Akan kuberikan padamu nanti di malam pertama.” ucapmu dengan malu manja waktu itu.
“Mudah-mudahan.” Jawabku penuh ragu.
Ya Rasti, aku ragu waktu itu. Sebab, aku telah tahu sesuatu, dan kau tak mengetahuinya. Rasti, di sebuah pagi yang belia, ada seorang perjaka memasuki rumahmu dan aku melihat ayahmu masih bermata merah karena kantuknya belum pergi. Dan kau waktu itu pergi ke sungai untuk mencuci dengan teman-teman sebayamu yang memiliki nasib tak jauh beda denganmu. Rasti, aku mengintip kejadian itu di belakang sebatang pohon kelapa tak jauh dari rumahmu.
Dengan tergesa ayahmu memasang baju waktu itu. Lalu, mempersilahkan sang perjaka dan orang agak tua berwibawa, yang mengantar sang perjaka itu untuk memintamu. Tak lama kemudian terjadi kesepakatan, dan senyum bahagia menghiasi wajah mereka.
Maka Rasti, benar kiranya aku meragukan tak kan kesampain terhadap apa yang kau ucap di pertemuan di belokan jalan itu.
Dan hal lain yang juga masih aku ingat benar Rasti, di pertemuan kita itu, kau bercerita tentang sepupu perempuanmu. Ia dijodohkan orang tuanya dengan anak pemilik kebun kelapa yang hampir semua kebun di kampungmu dimilikinya. Tapi sepupumu itu memilih mati dari pada menikah dengan orang yang tidak dicintainya meski itu suaminya. Ia bunuh diri dengan racun yang digenggamnya saat sang suami mau menjamahnya.
Waktu itu, entahlah, aku tak cukup pandai membaca wajah dan ketergesa-gesaanmu, kenapa tiba-tiba kau dengan tergesa pamit pulang. Padahal Rasti, waktu itu rinduku belum sepenuhnya terobati, dan satu hal lagi, masih banyak yang ingin aku bicarakan.
Rasti, dan kini, tak perlu aku tanyakan padamu apa artinya kepamitanmu yang tiba-tiba saat itu. Dengan genangan air di matamu, dan sesungging senyum buatan di bibirmu, aku cukup bisa membaca; kau tak punyak pilihan selain menjadikan peristiwa di belokan jalan itu sebagai kenangan. Juga aku.
Kini, kau telah sepenuhnya menjadi ratunya. Kau dan dia, anak pemilik kebun kelapa yang tak jauh kayanya dengan orang yang menikahi sepupumu itu, telah duduk bagai raja dan ratu di kursi mempelai. Orang-orang pada tertegun memandangmu. “Rasti, kau sungguh seperti bidadari,” begitulah orang-orang yang hadir di hari pengantinmu berucap, tak terkecuali aku. Sungguh itu semua mengingatkanku pada beberap waktu yang lalu saat bersama kamu di pertemuan lain tetap di belokan jalan itu.
“Rasti, kau cantik. Tak berlebihan jika dikatakan seperti bidadari.” Ucapku memuja.
Kau tersipu saat itu. Malu-malu manja. Senyummu terlempar kepadaku.
Benar, tak salah jika aku katakan padamu, kau seperti bidadari, sebab kau lebih sempurna dari teman-teman perempuanmu. Teman perempuanmu yang senasib sepertimu. Tapi, ah, kebanyakan dari mereka sebaliknya dari sepupumu yang pernah kau ceritakan padaku dulu. Mereka tersenyum bahagia saat kesedihannya memuncak. Saat laki-laki yang melamarnya telah resmi menjadi suaminya. Mereka keluar pagi hari setelah malam pertamanya dengan senyum dan bahagia disertai sang suami di sampingnya, menemaninya jalan-jalan pagi. Dan tentulah sang kekasih yang gagal memilikinya karena suatu hal yang tentu saja kau tahu, cukup lega karena sang kekasih yang gagal dimilikinya itu, tidak melakukan bunuh diri seperti sepupu perempuanmu itu.
Sang kekasih malam itu, kekasih yang harus menerima kenyataan bahwa perempuannya bukan lagi untuknya, tak bisa menutup mata ketika malam pertama pernikahan perempuannya itu, dengan sang suami yang tentunya bukan dia. Pagi-pagi pula ia megintip di antara pohon kelapa untuk memastikan apakah kebasahan rambut sang perempuannya yang pernah bejanji untuk hidup semati, di sertai sesungging tawa bahagia atau tidak? Jawabannya tak jauh beda, rambut basah dan sesungging tawa bahagia. Begitulah jawabannya setiap prihal itu terjadi. Dan ia, lelaki malang itu, di tengah remuk redamnya, masih bisa merasakan bahagia karena sang kekasih yang berjemur pagi bersama suaminya itu tidak bunuh diri seperti sepupumu yang kau ceritakan padaku di pertemuan diam-diam di belokan jalan itu.
***
Tanpa terasa hari mulai senja, bayangan pohon kelapa mulai memanjang ke timur, berdempetan sesama bayangannya. Matahari semakin merunduk ke arah barat. Orang-orang sebagian telah pulang, tak lupa mereka memberikan yang dibawanya, “kado pernikahan”. Rasti dan suaminya turun dari singgasana kursi pelaminan biru penganten, berdiri di pintu halaman tempat lewatnya para tamu pulang. Menyalami mereka. Tak lupa juga Rasti menyalami seseorang itu, seseorang malang itu, yang juga pulang bersama mereka para tamu undangan.
Saat Rasti menyalami seseorang itu, seseorang yang tentu masih ia ingat, betapa pertemuan di belokan jalan itu seperti tumbuh di kepala Rasti. Ia sepertinya ingin mengikuti langkah seseorang itu. Tapi, ia perempuan yang telah resmi menjadi milik orang. Cinta dan janji pun tak ada artinya bila keinginan para orang tua telah terpenuhi.
Dan kini, kedua orang tuanya cukup bahagia melihat anaknya menikah dengan perayaan yang tentu meriah. Dan lebih dari itu, dapur tak akan pernah lagi kosong, ruang tamu tidak akan lagi malu untuk dijadikan tempat bersua antar para pemilik sawah dan hektaran kebun kelapa. Lantai yang pecah-pecah tersulap menjadi lantai keramik yang berkilau.

***
Malam rebah. Bulan setengah bundar mengintip di celah pokok batang kelapa. Ada rintik gerimis tidak begitu tebal, namun awet. Kunang-kunang bertebaran. Malam pertama bagi Rasti dan suami pilihan orang tuanya.
Rasti hanya bisa pasrah (atau mungkin memang menunggu) pada sang laki-laki ketika malam itu mulai bertandang. Ketika tangannya ditarik memasuki kamar yang tak lupa dihiasi melati dan berbagai macam bunga harum, kasur baru empuk yang penuh dengan berbagai macam hias, serta minyak-minyak wangi seakan melelapkannya dalam pelukan hangat. Dan barulah Rasti bisa menangis (atau mungkin tertawa bahagia) setelah semuanya terjadi. Entahlan. Niatnya sewaktu ia masih berhubungan dengan kekasihnya, tak kan lagi pernah terwujud.
Dan seseorang itu, sama dengan laki-laki yang kesehariannya menjemur badan dengan keringat kuning yang hanya dihargai dua puluh lima ribu sehari. Seseorang itu tak bisa menutup mata di malam pertama Rasti. Bahkan saat matahari dan fajarnya berkibar di timur. Sama juga dengan mereka para lelaki yang kalah memiliki sang perawan karena suatu hal yang tentu Rasti tahu apa sebabnya. Pagi-pagi, seseorang itu mengintip Rasti di antara pohon kelapa untuk memastikan apa yang terjadi pada Rasti setelah melewati malam pertama. Apakah Rasti berjemur dengan rambut basah dengan suaminya, si anak kebun kelapa itu? Dan pastinya tak lupa juga diintip tawanya. Tawa bahagia atau tidak.
Seperti perempuan kebanyakan, Rasti berjemur pagi bersama suaminya dengan rambut basah.
Dan ia, seseorang itu, seperti laki-laki malang yang lain, jawaban yang didapatkannya tak jauh beda dengan mereka. Rambut Rasti basah dengan sesungging tawa bahagia. Dan seseorang itu, di tengah remuk-redamnya, cukup lega karena Rasti tidak bunuh diri seperti sepupunya.

Yogyakarta, Juni 2008 – Februari 2009

Senin, 26 Januari 2009

Foto

Kawan, Jakarta bukanlah sebuah paradigma lama yang dianggap sebagai surga. Sebuah pemandangan, di mana di situ semuanya ada; mulai dari yang paling baik sampai pada titik nadir yang paling buruk. Namun, ibarat baju putih yang terkotori tinta, Jakarta telah mengalami pergeseran. Jika, hujan adalah hal biasa, di Jakarta luar biasa. Bagaiman tidak, hujan merupakan ladang untuk berbuat Jahat. Semisal, korupsi.
Tunggulah....... Tulisan ini akan segera bertambah sebentar lagi.

Rabu, 21 Januari 2009

Lelaki Pagi


Cerpen Rachem Siyaeza

Apa yang harus kamu lakukan? Bahkan kamu tidak tahu bagaimana cara kamu menyembunyikan perasaan setiap kali lelaki itu lewat di depan rumah kamu. Karenanya pula tiba-tiba kamu begitu menyukai pagi, padahal kamu pernah sangat membenci pagi.
Ini untuk yang kesekian kalinya ia ingin ikut lelaki itu. Ia ingin menemaninya jalan pagi, menikmati embun-embun, bercakap-cakap tentang apa saja yang lelaki itu dapatkan dari aktivitas jalan-jalan setiap pagi. Tapi, tetap saja ia tak bisa. Ia masih harus menunggu suaminya untuk menciumi keningnya sebelum sang suami berangkat kerja.
O, mengapa pula ia harus memikirkan lelaki itu? Bukankah masih banyak pekerjaan yang mesti dilakukan? Ah, kenapa mesti nikmat saat melihat keringat di kening lelaki itu? Keringat yang basah karena lari-lari kecil yang dia dilakukan. Lelaki bertubuh tak begitu tinggi, namun jika dibandingkan dengan ia, masih lebih tinggi lelaki itu. Lelaki itu mampu memikat hatinya, sehingga sering kali ia hampir kepergok sang suami sewaktu ia diam-diam mengagumi tubuh lelaki itu. Untung saja ia cepat berlagak kaget saat senyumnya ia lemparkan pada lelaki itu, dengan pura-pura memandangi rumput-rumput. Dengan sigap ia sembunyikan senyum sebelum suaminya tahu.
Lelaki itu tampak saat pagi masih berkabut. Saat matahari masih malas untuk terbit. Dia terlihat sudah sangat bugar, barangkali air hangat telah dia siramkan ke tubuhnya, rambutnya juga sedikit basah. Atau paling tidak lelaki itu telah cuci muka sebelum keluar rumah jalan pagi. Dan ia, mungkin secara tiba-tiba, atau sengaja, ia ingin melihatnya berlama-lama. Bahkan ia seperti mempunyai kewajiban untuk membuka gorden jendela untuk melihat lelaki itu lewat di depan rumahnya. Setiap ia lakukan itu, pasti ia selalu mencoba melirik kebelakang. Dan setelahnya, ia merasa sedikit lega, karena sang suami masih tidur.
Ketika ia melihat lelaki itu lari kecil di depan rumahnya, ia ingin sekali memanggil dan menyuruh lelaki itu untuk berhenti sejenak. Ia ingin menyuruh lelaki itu menunggu karena ia ingin ikut jalan-jalan pagi bersamanya. Ia ingin berlari kecil bersamanya sambil menikmati pagi. Tapi, tetap saja ia selalu menurunkan tangan saat ingin memanggil lelaki itu. Perasaannya tak menentu. Penuh kalut. Takut suaminya bangun dan menemukan apa yang telah ia lakukan. Takut sang suami tahu bahwa ia bukan sedang memandangi rumpur dari dalam jendela, melainkan memandangi lelaki itu. Ah, mungkinkah suatu hari nanti aku bisa menemani lelaki itu jalan pagi sambil lari-lari kecil, pikirnya kadang-kadang. Tiba-tiba, dan selalu ia ingat bahwa sebentar kemudian suaminya akan segera bangun dan ia harus segera mengucap “selamat pagi sayang”.
Setiap pagi, ia harus mengucapkan kata itu dengan penuh gairah. Penuh perasaan. Ya, ia khawatir jika ia ucapkan dengan malas, suaminya bakal tahu bahwa ia diam-diam menyimpan perasaan untuk orang lain.
Bagaimana kamu menyembunyikan perasaan itu? Matamu tak akan mungkin mampu menyembunyikannya. Matamu tidak sebagaimana perkataan yang masih bisa dibolak balik. Tapi, mengapa kamu harus menyembunyikannya, bukankah kamu senang dengan datangnya pagi?
Ia tampak sedikit takut. Pikirannya sedikit berkabut, jika saat sebelum suaminya pergi. Saat sang suami mengecupi keningnya dan menatap ke matanya yang terlalu polos, ah, terlalu jujur mata itu. Maka, ia cepat membuang pandang sebelum suaminya curiga apa-apa. Dengan sedikit senyum, ia mengatakan pada sang suami “mas jangan lupa ya, aku belikan buah-buahan. Jangan terlambat makan pagi di kantor” ia mengatakan itu begitu saja. Bahkan sebelumnya ia tak pernah mengatakannya. Tapi, ia cukup lega karena sang suaminya tak menanyakan tentang apa-apa, tentang sedikit wajah ketakutannya.
Suaminya menjawab dengan anggukan. Dan menyecupi keninggnya lagi setelah akhirnya sang suami hilang di balik daun pintu, dan mobil segera menderu. Suaminya berangkat kerja.
Ia terbiasa makan pagi sendiri karena suaminya selalu berangkat pagi, sehingga untuk makan pagi dengan suaminya, tak bisa. Kadang ia befikir, andai saja lelaki itu menemaninya.
Dalam hati ia berharap lelaki itu tetap ada setiap pagi. Tetap berlari kecil, sesekali memandangi dirinya yang melihat dia dari dalam jendela. Mungkin juga sedikit kata-kata yang membuat pagi sedikit bergairah “mari Mbak, selamat pagi”.
Pernah suatu pagi, pagi yang sama. Lelaki itu tak ia lihat berjalan pagi. Ia sangat lama memandang ke luar dari dalam melalui jendela kamar. Ia kelihatan gusar. Gelisah. Ia lirik ke belakang, suaminya masih tidur nyenyak di ranjang karena semalam waktu itu mereka habis bercinta. Ia semakin gelisah. Kemana lelaki itu? Kenapa ia tak jalan pagi? Apa ia ketiduran? Atau mungkinkah ia telah berhenti selamanya untuk jalan dan lari-lari kecil? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyerbu pikiran-pikirannya. Namun ia buru-buru menyembunyikannya, takut sang suami tahu tentang sebab gelisahnya.
Cepat-cepat ia atur nafar yang semula tak menentu. Karena tiba-tiba ia dikagetkan oleh suaminya yang telah bangun di belakang “selamat pagi sayang” ia berucap dengan nada agak bergairah, namun di mukanya nampak perasaan lesu. Nampak perasaan merasa kehilangan.
“kenapa kamu sayang, apakah kamu sakit?” tanya suaminya waktu itu.
“aku gak apa-apa mas” jawabnya.
“Tapi kenapa kamu sedih” tanya lagi sang suami.
“Aku hanya perlu sedikit cuci muka”. Lalu ia beranjak dari dekat jendela buru-buru pergi karena khawatir suaminya menatap matanya. Ia menghindari suaminya menatap matanya karena takut sang suami membaca perasaannya.
Untung saja di pagi-pagi setelahnya lelaki itu tetap ada. Masih ada berjalan pagi dengan lari-lari kecil. Dan ia senang karena lelaki itu hanya hari itu saja tak ada. Namun, ia harus selalu berpura-pura memandangi rumput di halaman agar suaminya tidak tahu bahwa ia sedang memandangi seseorang yang sedang lewat di depan rumahnya.
***
Apa yang tidak bisa di dunia ini? Segalanya pasti bisa, apa lagi hanya sekedar menghampiri lelaki itu. Kamu sudah tak kuat ingin tahu lebih dalam tentang lelaki itu. Ah, tapi mengapa perasaanmu begitu sesak ketika harus melambaikan tangan untuk memanggil lelaki itu.
Pada akhirnya ia merencanakan sesuatu. Ia berencana untuk menemui lelaki itu, tepat esok pagi ketika dia lewat di depan rumahnya. Ia akan menghentikan lelaki itu dan akan mengajaknya berbincang-bincang ringan. Ia ingin tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Atau masih bujangkah dia? Ah!
Bagaimana suami kamu, apa mungkin dia tidak akan curiga sesuatu jika kamu benar-benar melakukan itu?
Ia akan mencabuti rumput liar-liar yang sepertinya sudah agak lama tak diurus di halaman depan. Bahkan jalan hampir tertutupi rumput. Kadang lelaki itu memandangi rumput itu sesaat sebelum dia memandang padanya yang berdiri di dalam rumah di balik gorden jendela. Dengan demikian, suaminya tidak akan curiga apa-apa. Mungkin akan senang sang suami jika melihat dirinya bersih-bersih halaman.
Pagi kini, baginya sungguh sangat indah. Terlampau indah. Ia tak mengutuki pagi lagi setelah lelaki itu memberinya debar di hatinya. Dulu pernah ia sangat membenci pagi. Bermula dari kejadian itu. Ya, kejadian di mana ia tiba-tiba menemukan dirinya berada di sebuah tempat yang menakutkan. Waktu itu, saat ia masih kecil, ia merengik menangis tanpa sebab apa pun tengah malam ketika ayah dan ibunya tidur nyenyak. Mereka terbangung kaget mendengar tangisan dirinya. Dan itu, membuat ayahnya marah sehingga dengan kasar menggendongnya dan membawanya pergi ke sebuah tempat. Tempat yang ia kini kutuk. Oleh ayahnya ia ditinggal di tempat itu. Ah, tempat menyeramkan ketika malam datang, agak jauh dari rumahnya. Di situlah sang ayah meninggalkan dirinya terisak-isak. Untung tak terjadi apa-apa padanya. Dan pada paginya sang ayah datang menjemputnya, membawanya pulang ke rumah dengan gendongan yang sangat kasar.
Di rumah ia melihat ibu sedih, kulit ibunya memar seperti habis dicambuk. Ibunya diam saat itu. Ayahnya memaki-maki ibunya tanpa jelas apa yang dikatakan. Yang ia tahu setelah pagi itu, sang ayah tak pernah lagi kembali, ia pergi dengan meninggakalkan kata “talak” kepada ibunya. Mulai pagi itu, ia sangat benci pada pagi. Pagi baginya begitu menyeramkan setelah kejadian itu. Hingga pada akhirnya ia kembali menyukai pagi setelah lelaki itu tiba-tiba memberikan perasaan-perasaan nikmat padanya. Sungguh lelaki itu, lelaki pagi yang membuatnya senang.
***
Pagi-pagi benar ia bangung. Ia bangun lebih pagi dari biasanya. Ia lihat suami di sampingnya masih nyenyak tidur. Dan tak banyak fikir lagi, ia gerakkan tubuhnya dan segera beranjak mengambil peratan kebun secukupnya. Saat fajar baru menyingsing, ia sudah bermain-main dengan rumput. Wajahnya girang. Penuh kebahagiaan.
Namun, detak jangtungnya sulit diatur. Juga keningnya mengerluarkan keringat agak dingin. Sebentar lagi, pasti lelaki itu akan segera lewat tepat di depanku yang sedang membereskan rumput-rumput liar, pikirnya. Dan ia tak akan banyak fikir lagi, ia akan langsung menyapa lelaki itu.
Ah, ia tampak cemas. Seakan suaminya menatap dirinya dari dalam rumah dengan tatapan tajam. Dan ia akan merasa sangat bersalah karena meninggalkan suaminya sebelum bangun, sebelum ia mengucapkan: selamat pagi sayang. Ia semakin cemas seolah suaminya kini tahu bahwa ia hanya beralasan membersihkan rumput. Dengan rasa berat dan perasaan tak menentu ia tatap jendela tempat ia memandang lelaki itu dari dalam ketika lelaki itu jalan pagi di jalan depan rumahnya, dan ternyata suaminya sedang berdiri di situ, sedang memandang dirinya. Betapa ia terkejut setengah mati. Hampir ia tak sanggup menyembunyikan rasa gelisahnya yang sejak tadi menyerangnya. Sang suami tersenyum senang. Dan ia merasa sedikit lega. Ah, untung suaminya tak curiga apa-apa.
Tapi kenapa lelaki itu tak ada? Tak berlari-lari kecil? Nyalinya menciut menerima kenyataan lain. Matahari di timur sudah mulai terlihat, tapi lelaki itu tak juga muncul. Dan buru-buru ia cabuti rumput liar dengan perasaan tak semangat. Perasaan gusar dan jengkel, dengan gerutuan kecil yang keluar dari mulutnya. Lalu, ia masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian sang suaminya pamit berangkat kerja, dan tentu saja diciuminya keningnya.
***
Sudah lebih satu minggu lelaki itu tak lagi berjalan di depan rumahnya. Tak ada lagi lari-lari kecil yang dia lakukan. Setiap ia tatap jalan di depan rumahnya itu, ia hanya mendapatkan kekosongan. Kehampaan. Ia tak mendapatkan perasaan debar yang terlampau nikmat seperti saat lelaki itu masih berjalan pagi di depan rumahnya. Ia juga semakin tak memiliki gairah saat bercinta dengan suaminya. Dan lambat laun, ia mulai mengutuk pagi, mulai membenci pagi. Bahkan pada akhirnya, lebih benci lagi, dan lebih benci. Ia amat sangat benci terhadap pagi.

Yogyakarta, September 2008

Senin, 29 Desember 2008

Kabar dari Bangka!

Aku tunggu di Bangka!

Debar sekaligus kaget bercampur bahagia menyergapku tiba-tiba menerima pesan dari kamu itu. Pesanmu yang membuat ponselku berdering girang menerimanya.

Aku bingung ketika harus membalas pesan untukmu. Apakah aku harus menjawabnya dengan jujur, bahwa aku memang ingin ke Bangka, bahwa rindu ini sudah terlampau tak terperikan? Atau justru balik bertanya kepadamu tentang timah atau tentang curuh hujan di sana? Bagaimana kabar orang tuamu? Apakah kamu bahagia hidup di kampungmu?

Pertanyaan-pertanyaan itu bertebaran di kepalaku sebagai kebingungan-kebingungan yang mendebarkan. Dan, entah karena apa, asap rokok yang kuhisap untuk sekedar mengimbangi kerinduanku padamu, seakan menjelma dirimu. Bayangmu kembali muncul di hadapanku seperti gerimis-gerimis tipis yang rintik.

Seperti sebuah patung, aku duduk terpaku di teras kost, membaca pesan dari kamu sambil mengira-ngira apa yang akan kutulis di ponsel untuk membalas SMS-mu. Ada kupu-kupu ungu terbang di depanku, mengingatkanku pada baju yang kamu pakai waktu itu. Di depan kampus, saat itu hujan begitu lebat, kamu menunggu redanya hujan untuk pulang ke kostmu waktu itu. Dan aku diam-diam memerhatikan kamu yang kian gelisah karena hujan tak juga reda. Dinginnya hujan membuat tubuhmu menggigil, gigimu seperti bergemeletuk dan bibirmu kulihat ketika itu mulai berwarna ungu, mulai sama dengan baju yang kau kenakan. Aku ingin memberikan jaketku padamu waktu itu, namun, ah, lagi-lagi aku dihantui perasaan takut. Takut kamu menolaknya, takut kamu tak menghiraukan aku. Hingga akhirnya aku tak jadi memberikannya. Aku lihat kamu waktu itu tampak semakin dingin, sedang hujah masih tetap lebat.

Kerinduanku padamu begitu menggebu semenjak kamu pergi setahun yang lalu. Sebuah pesan dari kamu yang memberi tahuku waktu itu, sebelum akhirnya Lion Air di atas kostku meluncur pelan-pelan membuat semacam ketakutan-ketakutan di kepalaku. Waktu itu, keberangkatan kamu ke tempat kelahiranmu, ke Bangka, tepat ketika pagi masih menyisakan embun-embun dan kesejukan-kesejukan yang nikmat. Dan aku, waktu itu masih mimpi indah tentang kamu yang pada akhirnya ponselku mengagetkan aku, sebuah pesan dari kamu: Sampai ketemu ya kapan-kapan, aku pasti sering ke Jogja. Cepat-cepat aku keluar kost, mecoba untuk melihat pesawat itu, mungkin, paling tidak, aku dapat melihat kamu yang terakhir kalinya, mungkin kamu masih sempat melambaikan tangan untukku melalui jendela pesawat (ah, tidak mungkin kamu bisa melihat aku dari dalam pesawat. Mungkin ini hanya harapanku saja yang terlampau takut berpisah dengan kamu). Tapi mataku tak melihat sebuah lambaian tangan. Aku hanya melihat dan mendengar bunyi pesawat yang semakin jauh dari pandanganku. Saat itu juga, aku mulai membenci pesawat, apa lagi ketika pesawat itu tepat memecah tidur nyenyakku di pagi-pagi yang masih berkabut.

Kadang-kadang, bahkan sering aku membayangkan kamu ada bersamaku, bercerita indah tentang Bangka yang sudah sering kau ceritakan padaku waktu ketika kita masih sama-sama sering menghabiskan sisa hari di kantin kampus.

“Di kampungku banyak batu yang besar di dekat pantai seperti rumah,” ceritamu. Sore baru saja datang waktu itu, dan seperti biasa kita pun memesan coca cola atau minuman sejenisnya.

“Di kotaku, Bangka, Babel bo’, banyak kesenian-kesenian yang sangat indah. Kamu tidak akan bosan jika kamu suatu saat ke sana,” ucapmu lagi waktu itu setengah bercanda. Dan aku diam mendengar ceritamu yang begitu indah itu. Sekedarnya kumenikmati gerak bibirmu yang ayu.

“Maras Taun, Buang Jong, seni musik Dulmuluk, Begambus, Stambul dan banyak lagi tradisi dan kesenian Bangka lainnya yang sangat bagus.” Lanjut ceritamu waktu itu. Aku pun masih diam mendengarkan berbagai macam ceritamu tentang Bangka tanpa sedikit pun aku menampakkan risih terhadap banyak ceritamu itu.

“Di dekat rumah kamu ada nggak pantai yang bagus?” tanyaku padamu, lebih ingin tahu.

“Pantai yang dekat dengan rumahku itu banyak banget, dan hampir bagus semua, masih perawan lagi pantainya. Mulai dari pantai Peson, pantai Tikus, teluk Uber, Matras, pantai Tenggiri dan banyak lagi.” Jawabmu penuh bangga. Tentu dengan senyum tipis indah menghiasi bibir kamu. Dan aku ingin sekali ke Bangka, entah, apa karena kamu atau apa?

“Wah, aku jadi ingin tahu lebih dalam nich tentang Bangka, lebih khusus lagi kampung kamu, dan tentu aku ingin kamu...!” lanjut ucapku waktu itu, di sertai sedikit bercanda.

“Aku dulu pernah tinggal di kampung, nama kampung itu Tempilang. Di situ kalau bulan ruah ada acara, meriah banget, hampir semua orang Bangka atau Blitung datang ke kampung itu. Acara yang kaya’ gitu dilaksanakan setahun sekali, pokoknya seru...! Ada acara perang ketupat. Terus, sebelum perang itu dimulai ada tarian, namanaya taria Campak. Terus pakai taber-taberan. Ngerti taber-taberan nggak? Kalau nggak ngerti ya wes. Hehe! Nah, habis itu ada acara hiburan, biasanya ada artis. Selanjutnya....!” tiba-tiba kamu menghentikan ceritamu.

“Apa selanjutnya?” tanyaku penasaran.

“Bayar dulu dong, info itu berharga, hahaha”. Ceritamu sambil bercanda-tawa membuat aku semakin ingin ke Bangka. Hidup bersama kamu di sana. Tentunya.

Kita sering melakukan hal itu, kau dan aku bertukar banyak cerita, tentang kampungku di Pajagungan (kampung kecil di Sumenep Madura), tentang carok yang begitu melekat menjadi sebutan terhadap orang yang lahir di pulau yang sama denganku. Dan kamu selalu membuat suasana tampak tidak tegang ketika aku katakan “Aku nggak menyukai carok.” Kamu menimpali ucapanku sambil tertawa menampakkan gigimu yang berjejer rapi, yang serasi, sesuai dengan kulit putih agak China itu, “Carok yukk dengan aku,” ucapmu sambil memicingkan kedua mata yang sipit namun indah itu.

“Kau seperti wanita China, apa kau keturunan China?” tanyaku padamu.

“Kenapa kue tanya seperti itu, emang aku mirip China po?” kamu balik bertanya padaku dengan sedikit menggunakan bahasa Jawa.

“Kau mirip sekali dengan perempuan China,” ucapku kemudian.

“Aku bukan keturunan China, aku Melayu tulen.” jelasmu waktu itu. Beberapa menit kemudian, kita pergi meninggalkan kantin kampus, pulang ke kost masing-masing.

***

Aku memang ingin sekali datang ke Bangka untuk berkunjung ke kamu. Apa lagi tahun ini aku akan segera menyelesaikan skripsiku. Dan itu artinya, aku akan segera meninggalkan Jogja dan semua kenangan-kenangan kita.

Kamu telah lebih dulu menyelesaikan studimu, hingga akhirnya kamu pun lebih dulu juga meninggalkan aku yang masih terbata-bata menyerap berbagai macam pelajaran di kampus.

Pesan kamu waktu sebelum kamu pulang ke kota kelahiranmu masih berdenyut-denyuk di kepalaku. Bahwa kamu akan sering-sering ke Jogja. Tetapi, sudah satu tahun kamu tak muncul-muncul juga. Aku sangat ingin bertemu dengan kamu, mengulang kisah-kisah indah, bertukar cerita tentang keadaan tempat kelahiran masing-masing. Sungguh betapa aku sangat semakin kangen sama kamu, jika tiba-tiba kenangan-kenangan itu muncul di ingatanku seperti layar tancap mengisahkan kesedihan.

Dulu, beberapa minggu setelah kepergianmu, kita sering memberi kabar melalui ponsel, kadang juga kita sesekali saling telfon. Namun kini, prihal itu hampir tidak sama sekali kita lakukan. Mungkin karena kesibukan kita masing-masing yang membuat kita jarang bertanya kabar atau bercanda melalui telfon. Mungkin saja kamu merindukan aku sebagaimana aku merindukanmu kini. Atau mungkin kamu sudah tak menghiraukan aku?

Aku hanya bisa menduga-duga bagaimana keadaan kamu di sana. Kekhawatiran juga sering menyergapku tiba-tiba hingga aku terkadang larut dalam kesedihan-kesedihan. Kesedihan-kesedihan yang tak kutahu mengapa aku harus bersedih membayangkanmu menjadi milik orang lain.

Apakah mungkin karena aku selalu merindui kamu sampai aku selalu khawatir terhadap keadaan kamu di Bangka sana? Segala prasangka buruk itulah yang selalu membuat aku terlampau takut. Aku takut tiba-tiba, musim hujan seperti saat ini, membuat kamu berpaling dariku karena aku yang di sini tak bisa membuat tubuhmu hangat di tengah dinginnya musim hujan? Bukankah pernah kamu bercerita padaku bahwa perempuan tidak betah dengan dingin? Dan bisa jadi saat ini kamu tak pernah lagi merasakan dingin karena sudah ada seseorang di samping kamu? Dan tentu kamu akan segera melupakan aku jika itu yang terjadi. Namun, aku selalu yakin bahwa hujan tak membuat kamu berpaling dariku!

Apa yang sedang kau lakukan di sana? Mungkinkah semua dugaanku tentang kamu itu benar? Tapi sejauh ini aku masih selalu membayangkan kalau kamu saat ini masih merindukan aku sebagaimana aku yang selalu merindukan kamu.

Aku selalu berharap kamu dalam keadaan yang bahagia. Dan lebih dari itu, aku berharap kamu masih sendiri sebagaimana aku sendiri dengan keyakinan bahwa dalam waktu dekat ini, aku bisa datang ke Bangka untuk meminangmu menjadi pendamping hidupku. Kemudian, aku akan minta ijin pada orang tuamu untuk membawamu ke Jogja. Dan kita di Jogja, nanti, setelah menjadi sepasang suami-istri, mungkin, sambil melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Aku masih berfikir-fikir lagi bagaimana jika aku katakan saja padamu melalui pesan atau kutelfon saja kamu bahwa saat ini, sebentar lagi aku akan segera menyelesaikan skripsiku. Dan setelah aku diwisuda, aku akan segera menyiapkan pinangan ke kamu. Tapi aku selalu saja ragu untuk melakukannya. Perasaan-perasaan khawatir selalu saja menggagalkan rencanaku untuk menghubungimu. SMS yang baru saja aku terima dari kamu masih saja aku ragu untuk membalasnya. Sebenarnya aku ingin mengetik “Ya, sebentar lagi mungkin aku akan ke Bangka,” tapi selalu saja muncul dalam ingatanku pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sedih. Untuk menulis pesan “aku ingin meminangku” aku tak bisa. Banyak keraguan-keraguan muncul di kepalaku sebagai dugaan-dugaan nyata tentang keberadaan kamu di sana.

Mengapa tiba-tiba kamu mengatakan dalam pesanmu: aku tunggu di Bangka! Apa yang terjadi padamu di sana? Bukankah jauh-jauh hari sebelumnya aku tak pernah berkabar untuk datang ke kotamu?

Tak urung juga aku masih duduk terpaku di teras kostku, memikir-mikir apa yang harus aku katakan padamu di Bangka sana. Apa yang harus aku ketik di ponselku: apakah aku akan mengatakan saja bahwa aku akan segera meminangnya dalam waktu dekat ini? Lagi-lagi, secara tiba-tiba, ketakutan menyergapku membuatku gagal mengetik sebuah pesan penting itu. Apakah lebih baik aku tanya bagaimana kabarmu?

Baru saja aku akan mengetik pesan untuk bertanya kabar padamu, tiba-tiba ponselku berdering, muncul nama kamu di ponselku. Kamu calling: “Hallo,” ucapmu. Aku diam setengah kaget menahan debar mendengar suaramu yang begitu indah terdengar di telingaku.

“Ke Bangka seminggu lagi ya. Aku akan merayakan nyukur tiga puluh hari kelahiran anak pertamaku. Oh ya! Maafkan aku, aku lupa memberi kabar tentang pernikahanku ke kamu kemaren-kemaren. Tapi, aku bahagia kok!” lanjutmu.

“Bagaimana kabarmu?” lanjutmu lagi.

“Baik.” Balasku singkat. Mungkin suaraku sesak.

Kamu terus bercerita tentang bagaimana kamu di Bangka, tentang kehidupanmu yang penuh dengan bunga-bunga bersama seseorang yang menjadi bapak anakmu (tentu buah hatimu itu imut seperti kamu). Suaramu kudengar di ponselku penuh kebahagiaan, disertai tawa kegirangan tanpa sedikit pun beban. Dan aku, entahlah, apa yang terjadi terhadapku.

***

“Usahlah dikau kenang, kalau kau tak mau hidup gamang.”

Siapakah yang berkata itu? Tak ada siapa-apa. Bisa jadi aku. Ya bisa jadi?

Senin, 12 Mei 2008

Sajak-sajak Rachem Siyaeza

Kecap Bibirmu Hitamkan Malamku

sekuntum mawar
menyambut musim kasih
sepasang kumbang yang dendang dan terbang

di keharumannya
yang membawa nama-nama Tuhan
—kupanjangkan pandang
kala daunnya menahan petikan

petikan tanganmu yang tak juga jemu
menangkap semu rindu
sesemu pagi jika matahari
tak melepas cahayanya yang putih

ketika semua tercatat
sebagaimana kisah maria
yang tangisnya adalah luka
kau tawarkan apa yang telah kau buka
antara duri dan air mata

aku pun terbawa mati kecap bibirmu
sampai bunga pun juga mati
—yang itu adalah milikku

dan langit tempat pijak bintang dan bulan
seolah bukan lagi bagian awan untuk berdandan
sedang laut tempat ikan menyalam hidup
menjadikan nyala gelombangnya seakan redup

(aku dibuatmu padam
sehitam malam —lenggam)

Yogyakarta, 2008


Kau Tak Sembunyi

ini malam bercahaya terang —berkilau
memandikanku dengan rindu
—yang hujan di matamu.

kau tak sembunyi tapi aku tak berani ditatapmu
setelah selembar daun yang kusangka daunmu
menutup pandang.

mungkin bulan akan purnama
seperti kebaya yang melengkapi tubuhmu
dengan seikat bunga

tapi sepasang kelelawar akan meninggalkan
cahaya remang jika kau tak membuka mata
;membaca cinta.

malam melepas kunang-kunang
hinggap dan terbang menyulam banyang.
dan aku baca namamu yang sebenarnya tak perlu
karena akan jadikan perdu —jika pintu tak kau buka

inilah aku menyalammu
menyalam lingkar waktu
melambai tangan yang gemertar

tapi karena aku hindar
maka kau yang seindah mawar
sesempurna bulan bundar
tak dapat aku sentuh dengan segar

2008


Pecinta Menemukan Setia

ketika hujan dan kumbang
menghias bunga bunga mekar dengan nyanyi
dan di sebuah rintik dan sayapnya
kumaknai wanginya sebagai cahaya
—sebagai makna
yang terpendam di gairahnya
yang berwarna pelangi

lalu kutepis sebuah nasib
yang mengantarku padamu
sebagai pecinta menemukan setia

seperti tanpa arah —aku langkahkan kaki
agar dapat kuterka
setapak batu —serimbun ilalang
yang melintang
sebelum seberkas sinar menjadi petang
menutup mata, menghitamkan kata
yang akan kuucap sebagai permata.

(2008)


Embun Yang Kau Katakan Hatiku

embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau milikmu

rumput yang tumbuh
bersama turunnya adam dan hawa
juga menguncup bersama awan
yang memanggil bulan

bulan yang kini sedang menjemputmu
dan mengantarku menujumu yang aduh........

di dirimu aku mendengar suara merdu
lalu kumasuki segenggam mutiara
—sepukau cahaya.

pagi memanggil matahari
;ada air menetes dari langit
jatuh kepangkuan daun di bumi

matahari menerangi pematang ilalang,
serupa wajahmu yang juga terang:
menampakkan embun di daun-daun pandang

embun yang kau katakan hatiku
jatuh di rumput hijau —milikmu

Yogyakarta, 2008


Sungai Dalammu

sungai itu pun mengalir jauh
ketika waktu adalah air jernih dan tenang

maka kukenali lagi tanganku dalam mencapaimu
agar dapat kusentuh rindu itu

akan kuselami, hingga dalamnya rahasia
menghanyut daun-daun yang ada —sengaja

mungkin ini akan samar
jika senja sedang memangil malam
manakala burung-burung terbang mendendang

mengawang, seakan jadi pelangi
—di antara awan
melahirkan hujan pada hikayat
musim kawin ikan-ikan

bunga-bunga tumbuh di tepi sungaimu
segar karena subuh menyublimnya
dengan lagu rindu

tapi aku tak menemukan tempat untuk bungaku
supaya juga tumbuh seperti bunga-bunga dalammu

2008


Helai Rambutmu

helai rambutmu —benang merah yang mengikat lidahku
menjadi ranjau yang menjebakku

membuatku tak mampu mengucap perdu
mungkin jelmaan dari rindu
yang ada tanpa sengaja mengganggu

(kau —telah mendarat
di sebuah celah hatiku
yang tak sempat ku tutupi
hingga kau menyakiti)

aku tersekap oleh ranjaumu

2008


Rachem Siyaeza, lahir di Pajagungan, sebuah kampung kecil di ujung timur pulau Madura. Kini sedang melanjutkan Studi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakara. Aktif pada Lesehan Sastra Kutub dan Komunitas Kossong.