Rabu, 28 Januari 2009

Rasti


Cerpen Rachem Siyaeza

Apa yang terjadi pada Rasti di hari yang semestinya berbahagia. Di hari ini, ia seharusnya menebar senyum untuk semua orang. Tapi, sepertinya hari suka cita ini baginya seperti hujan deras yang mendatangkan banyak penyakit. Atau mungkin seperti malaikat yang akan segera mencabut nyawa. Prihal kebahagiaan banyak orang ini justru sebaliknya bagi Rasti.
Ia telah ditunggu banyak orang di luar. Pasangan lelakinya dengan keris di punggung dan blangkon menutupi kepalanya, serta sedikit tambahan kumis palsu menghiasi wajahnya sudah menunggu untuk menjadi raja di samping Rasti.
Tapi kenapa hari ini seperti tak pernah Rasti harapkan. Sama dengan perempuan-perempuan lain ketika akan tiba saatnya berkeluarga, semuanya sedih, tak terkecuali Rasti. Perempuan di kampungnya hanya bisa menangis, di hari bahagia bagi orang tuanya. Dan lelaki tak peduli akan kesedihan kaum perempuan.
Lelaki lebih perkasa dan kuasa untuk memilih calon istrinya. Mereka, kaum lelaki tinggal menunjuk jari dan menyebut nama perempuan yang diinginkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Dengan waktu yang cukup singkat, sang perawan dengan leluasa dapat dimilikinya dengan sempurna.
Kaum perempuan hanya bisa mengintip di lubang kunci pintu kamarnya saat ada lelaki yang menemui orang tuanya, melamar (tentu dengan juru bicaranya) anak perawannya tanpa bisa menentukan pilihan. Jika sang orang tua menerima lamaran itu, tak dipedulikan lagi apa sang anak mau atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah menerima dengan pertimbangan yang tidak begitu matang. Bagi mereka para orang tua, jika yang melamar cukup mampu untuk mengisi bahan-bahan dapur, menambah isi ruang tamu, mengganti lantai dengan keramik, tentulah itu cukup dijadikan sebagai alasan untuk menjadikan ia menantunya.
Seperti perempuan kebanyakan, Rasti seolah budak murahan yang bisa dibeli dengan harga mas satu gram, bahkan kurang dari ukuran itu. Dan laki-laki berjaya, bertindak sebagai pembeli, bertindak sebagai seorang raja yang berhati batu. Padahal perempuan mana saja tak ingin dijual belikan berapa pun harganya. Tentu Rasti tak setuju dengan prihal semacam itu.
Bagi laki-laki yang kesehariannya menjemur badan dengan keringat kuning yang hanya dihargai dua puluh lima ribu sehari, tak kan mampu meluluhkan hati orang tua sang perawan. Lebih dari itu, anak perjaka dari orang tua pemilik kebun dan sawah berpuluh hektar itulah yang akan menang dalam memiliki sang perawan.
Hari ini, ketika fajar belum sepenuhnya dikalahkan cahaya mentari, ibu, ayah, nenek, kakek dan semua keluarga bersuka cita melihat kursi raja dan kursi ratu, kursi pelaminan biru, berada di halaman yang telah disulap sedemikian rupa dengan bunga-bunga, kenduren terbaik, tulisan semacam “semoga bahagia”, bola-bola dari kertas warna-warni menggantung sana-sini, dan banyak lagi. Mereka amat sangat bangga melihat semua itu, apa lagi melihat sang anak perempuannya, Rasti, di dalam kamar didandan oleh tukang hias kelas terkemuka di kampung. Gaun putih yang dipakai Rasti membuatnya seperti bidadari. Kuku-kukunya dicat dengan merah mudah, rambutnya disanggul, bulu matanya dilentikkan (masyarakat urban menyebutnya eyeliner), dan di tepian matanya, maskara membuat Rasti semakin cantik. Bibirnya bersolek dengan lisptik merah tidak begitu menyala. Rasti bagai seorang ratu hari ini. Dan pastinya, saat matahari tidak begitu tinggi Rasti dan pengantin laki-lakinya, akan duduk berdua dengan senyum tak pernah reda.
***
Rasti, aku masih ingat di waktu kita diam-diam bertemu di belokan jalan yang sepi itu. Tanpa teman seorang pun yang kau bawa dan aku juga sendiri meski resikonya sangat besar; kau dan aku akan diusir dengan cara tak terhormat dari kampung. Tapi, untung tak ada yang tahu pertemuan itu.
“Akan kuberikan padamu nanti di malam pertama.” ucapmu dengan malu manja waktu itu.
“Mudah-mudahan.” Jawabku penuh ragu.
Ya Rasti, aku ragu waktu itu. Sebab, aku telah tahu sesuatu, dan kau tak mengetahuinya. Rasti, di sebuah pagi yang belia, ada seorang perjaka memasuki rumahmu dan aku melihat ayahmu masih bermata merah karena kantuknya belum pergi. Dan kau waktu itu pergi ke sungai untuk mencuci dengan teman-teman sebayamu yang memiliki nasib tak jauh beda denganmu. Rasti, aku mengintip kejadian itu di belakang sebatang pohon kelapa tak jauh dari rumahmu.
Dengan tergesa ayahmu memasang baju waktu itu. Lalu, mempersilahkan sang perjaka dan orang agak tua berwibawa, yang mengantar sang perjaka itu untuk memintamu. Tak lama kemudian terjadi kesepakatan, dan senyum bahagia menghiasi wajah mereka.
Maka Rasti, benar kiranya aku meragukan tak kan kesampain terhadap apa yang kau ucap di pertemuan di belokan jalan itu.
Dan hal lain yang juga masih aku ingat benar Rasti, di pertemuan kita itu, kau bercerita tentang sepupu perempuanmu. Ia dijodohkan orang tuanya dengan anak pemilik kebun kelapa yang hampir semua kebun di kampungmu dimilikinya. Tapi sepupumu itu memilih mati dari pada menikah dengan orang yang tidak dicintainya meski itu suaminya. Ia bunuh diri dengan racun yang digenggamnya saat sang suami mau menjamahnya.
Waktu itu, entahlah, aku tak cukup pandai membaca wajah dan ketergesa-gesaanmu, kenapa tiba-tiba kau dengan tergesa pamit pulang. Padahal Rasti, waktu itu rinduku belum sepenuhnya terobati, dan satu hal lagi, masih banyak yang ingin aku bicarakan.
Rasti, dan kini, tak perlu aku tanyakan padamu apa artinya kepamitanmu yang tiba-tiba saat itu. Dengan genangan air di matamu, dan sesungging senyum buatan di bibirmu, aku cukup bisa membaca; kau tak punyak pilihan selain menjadikan peristiwa di belokan jalan itu sebagai kenangan. Juga aku.
Kini, kau telah sepenuhnya menjadi ratunya. Kau dan dia, anak pemilik kebun kelapa yang tak jauh kayanya dengan orang yang menikahi sepupumu itu, telah duduk bagai raja dan ratu di kursi mempelai. Orang-orang pada tertegun memandangmu. “Rasti, kau sungguh seperti bidadari,” begitulah orang-orang yang hadir di hari pengantinmu berucap, tak terkecuali aku. Sungguh itu semua mengingatkanku pada beberap waktu yang lalu saat bersama kamu di pertemuan lain tetap di belokan jalan itu.
“Rasti, kau cantik. Tak berlebihan jika dikatakan seperti bidadari.” Ucapku memuja.
Kau tersipu saat itu. Malu-malu manja. Senyummu terlempar kepadaku.
Benar, tak salah jika aku katakan padamu, kau seperti bidadari, sebab kau lebih sempurna dari teman-teman perempuanmu. Teman perempuanmu yang senasib sepertimu. Tapi, ah, kebanyakan dari mereka sebaliknya dari sepupumu yang pernah kau ceritakan padaku dulu. Mereka tersenyum bahagia saat kesedihannya memuncak. Saat laki-laki yang melamarnya telah resmi menjadi suaminya. Mereka keluar pagi hari setelah malam pertamanya dengan senyum dan bahagia disertai sang suami di sampingnya, menemaninya jalan-jalan pagi. Dan tentulah sang kekasih yang gagal memilikinya karena suatu hal yang tentu saja kau tahu, cukup lega karena sang kekasih yang gagal dimilikinya itu, tidak melakukan bunuh diri seperti sepupu perempuanmu itu.
Sang kekasih malam itu, kekasih yang harus menerima kenyataan bahwa perempuannya bukan lagi untuknya, tak bisa menutup mata ketika malam pertama pernikahan perempuannya itu, dengan sang suami yang tentunya bukan dia. Pagi-pagi pula ia megintip di antara pohon kelapa untuk memastikan apakah kebasahan rambut sang perempuannya yang pernah bejanji untuk hidup semati, di sertai sesungging tawa bahagia atau tidak? Jawabannya tak jauh beda, rambut basah dan sesungging tawa bahagia. Begitulah jawabannya setiap prihal itu terjadi. Dan ia, lelaki malang itu, di tengah remuk redamnya, masih bisa merasakan bahagia karena sang kekasih yang berjemur pagi bersama suaminya itu tidak bunuh diri seperti sepupumu yang kau ceritakan padaku di pertemuan diam-diam di belokan jalan itu.
***
Tanpa terasa hari mulai senja, bayangan pohon kelapa mulai memanjang ke timur, berdempetan sesama bayangannya. Matahari semakin merunduk ke arah barat. Orang-orang sebagian telah pulang, tak lupa mereka memberikan yang dibawanya, “kado pernikahan”. Rasti dan suaminya turun dari singgasana kursi pelaminan biru penganten, berdiri di pintu halaman tempat lewatnya para tamu pulang. Menyalami mereka. Tak lupa juga Rasti menyalami seseorang itu, seseorang malang itu, yang juga pulang bersama mereka para tamu undangan.
Saat Rasti menyalami seseorang itu, seseorang yang tentu masih ia ingat, betapa pertemuan di belokan jalan itu seperti tumbuh di kepala Rasti. Ia sepertinya ingin mengikuti langkah seseorang itu. Tapi, ia perempuan yang telah resmi menjadi milik orang. Cinta dan janji pun tak ada artinya bila keinginan para orang tua telah terpenuhi.
Dan kini, kedua orang tuanya cukup bahagia melihat anaknya menikah dengan perayaan yang tentu meriah. Dan lebih dari itu, dapur tak akan pernah lagi kosong, ruang tamu tidak akan lagi malu untuk dijadikan tempat bersua antar para pemilik sawah dan hektaran kebun kelapa. Lantai yang pecah-pecah tersulap menjadi lantai keramik yang berkilau.

***
Malam rebah. Bulan setengah bundar mengintip di celah pokok batang kelapa. Ada rintik gerimis tidak begitu tebal, namun awet. Kunang-kunang bertebaran. Malam pertama bagi Rasti dan suami pilihan orang tuanya.
Rasti hanya bisa pasrah (atau mungkin memang menunggu) pada sang laki-laki ketika malam itu mulai bertandang. Ketika tangannya ditarik memasuki kamar yang tak lupa dihiasi melati dan berbagai macam bunga harum, kasur baru empuk yang penuh dengan berbagai macam hias, serta minyak-minyak wangi seakan melelapkannya dalam pelukan hangat. Dan barulah Rasti bisa menangis (atau mungkin tertawa bahagia) setelah semuanya terjadi. Entahlan. Niatnya sewaktu ia masih berhubungan dengan kekasihnya, tak kan lagi pernah terwujud.
Dan seseorang itu, sama dengan laki-laki yang kesehariannya menjemur badan dengan keringat kuning yang hanya dihargai dua puluh lima ribu sehari. Seseorang itu tak bisa menutup mata di malam pertama Rasti. Bahkan saat matahari dan fajarnya berkibar di timur. Sama juga dengan mereka para lelaki yang kalah memiliki sang perawan karena suatu hal yang tentu Rasti tahu apa sebabnya. Pagi-pagi, seseorang itu mengintip Rasti di antara pohon kelapa untuk memastikan apa yang terjadi pada Rasti setelah melewati malam pertama. Apakah Rasti berjemur dengan rambut basah dengan suaminya, si anak kebun kelapa itu? Dan pastinya tak lupa juga diintip tawanya. Tawa bahagia atau tidak.
Seperti perempuan kebanyakan, Rasti berjemur pagi bersama suaminya dengan rambut basah.
Dan ia, seseorang itu, seperti laki-laki malang yang lain, jawaban yang didapatkannya tak jauh beda dengan mereka. Rambut Rasti basah dengan sesungging tawa bahagia. Dan seseorang itu, di tengah remuk-redamnya, cukup lega karena Rasti tidak bunuh diri seperti sepupunya.

Yogyakarta, Juni 2008 – Februari 2009

Senin, 26 Januari 2009

Foto

Kawan, Jakarta bukanlah sebuah paradigma lama yang dianggap sebagai surga. Sebuah pemandangan, di mana di situ semuanya ada; mulai dari yang paling baik sampai pada titik nadir yang paling buruk. Namun, ibarat baju putih yang terkotori tinta, Jakarta telah mengalami pergeseran. Jika, hujan adalah hal biasa, di Jakarta luar biasa. Bagaiman tidak, hujan merupakan ladang untuk berbuat Jahat. Semisal, korupsi.
Tunggulah....... Tulisan ini akan segera bertambah sebentar lagi.

Rabu, 21 Januari 2009

Lelaki Pagi


Cerpen Rachem Siyaeza

Apa yang harus kamu lakukan? Bahkan kamu tidak tahu bagaimana cara kamu menyembunyikan perasaan setiap kali lelaki itu lewat di depan rumah kamu. Karenanya pula tiba-tiba kamu begitu menyukai pagi, padahal kamu pernah sangat membenci pagi.
Ini untuk yang kesekian kalinya ia ingin ikut lelaki itu. Ia ingin menemaninya jalan pagi, menikmati embun-embun, bercakap-cakap tentang apa saja yang lelaki itu dapatkan dari aktivitas jalan-jalan setiap pagi. Tapi, tetap saja ia tak bisa. Ia masih harus menunggu suaminya untuk menciumi keningnya sebelum sang suami berangkat kerja.
O, mengapa pula ia harus memikirkan lelaki itu? Bukankah masih banyak pekerjaan yang mesti dilakukan? Ah, kenapa mesti nikmat saat melihat keringat di kening lelaki itu? Keringat yang basah karena lari-lari kecil yang dia dilakukan. Lelaki bertubuh tak begitu tinggi, namun jika dibandingkan dengan ia, masih lebih tinggi lelaki itu. Lelaki itu mampu memikat hatinya, sehingga sering kali ia hampir kepergok sang suami sewaktu ia diam-diam mengagumi tubuh lelaki itu. Untung saja ia cepat berlagak kaget saat senyumnya ia lemparkan pada lelaki itu, dengan pura-pura memandangi rumput-rumput. Dengan sigap ia sembunyikan senyum sebelum suaminya tahu.
Lelaki itu tampak saat pagi masih berkabut. Saat matahari masih malas untuk terbit. Dia terlihat sudah sangat bugar, barangkali air hangat telah dia siramkan ke tubuhnya, rambutnya juga sedikit basah. Atau paling tidak lelaki itu telah cuci muka sebelum keluar rumah jalan pagi. Dan ia, mungkin secara tiba-tiba, atau sengaja, ia ingin melihatnya berlama-lama. Bahkan ia seperti mempunyai kewajiban untuk membuka gorden jendela untuk melihat lelaki itu lewat di depan rumahnya. Setiap ia lakukan itu, pasti ia selalu mencoba melirik kebelakang. Dan setelahnya, ia merasa sedikit lega, karena sang suami masih tidur.
Ketika ia melihat lelaki itu lari kecil di depan rumahnya, ia ingin sekali memanggil dan menyuruh lelaki itu untuk berhenti sejenak. Ia ingin menyuruh lelaki itu menunggu karena ia ingin ikut jalan-jalan pagi bersamanya. Ia ingin berlari kecil bersamanya sambil menikmati pagi. Tapi, tetap saja ia selalu menurunkan tangan saat ingin memanggil lelaki itu. Perasaannya tak menentu. Penuh kalut. Takut suaminya bangun dan menemukan apa yang telah ia lakukan. Takut sang suami tahu bahwa ia bukan sedang memandangi rumpur dari dalam jendela, melainkan memandangi lelaki itu. Ah, mungkinkah suatu hari nanti aku bisa menemani lelaki itu jalan pagi sambil lari-lari kecil, pikirnya kadang-kadang. Tiba-tiba, dan selalu ia ingat bahwa sebentar kemudian suaminya akan segera bangun dan ia harus segera mengucap “selamat pagi sayang”.
Setiap pagi, ia harus mengucapkan kata itu dengan penuh gairah. Penuh perasaan. Ya, ia khawatir jika ia ucapkan dengan malas, suaminya bakal tahu bahwa ia diam-diam menyimpan perasaan untuk orang lain.
Bagaimana kamu menyembunyikan perasaan itu? Matamu tak akan mungkin mampu menyembunyikannya. Matamu tidak sebagaimana perkataan yang masih bisa dibolak balik. Tapi, mengapa kamu harus menyembunyikannya, bukankah kamu senang dengan datangnya pagi?
Ia tampak sedikit takut. Pikirannya sedikit berkabut, jika saat sebelum suaminya pergi. Saat sang suami mengecupi keningnya dan menatap ke matanya yang terlalu polos, ah, terlalu jujur mata itu. Maka, ia cepat membuang pandang sebelum suaminya curiga apa-apa. Dengan sedikit senyum, ia mengatakan pada sang suami “mas jangan lupa ya, aku belikan buah-buahan. Jangan terlambat makan pagi di kantor” ia mengatakan itu begitu saja. Bahkan sebelumnya ia tak pernah mengatakannya. Tapi, ia cukup lega karena sang suaminya tak menanyakan tentang apa-apa, tentang sedikit wajah ketakutannya.
Suaminya menjawab dengan anggukan. Dan menyecupi keninggnya lagi setelah akhirnya sang suami hilang di balik daun pintu, dan mobil segera menderu. Suaminya berangkat kerja.
Ia terbiasa makan pagi sendiri karena suaminya selalu berangkat pagi, sehingga untuk makan pagi dengan suaminya, tak bisa. Kadang ia befikir, andai saja lelaki itu menemaninya.
Dalam hati ia berharap lelaki itu tetap ada setiap pagi. Tetap berlari kecil, sesekali memandangi dirinya yang melihat dia dari dalam jendela. Mungkin juga sedikit kata-kata yang membuat pagi sedikit bergairah “mari Mbak, selamat pagi”.
Pernah suatu pagi, pagi yang sama. Lelaki itu tak ia lihat berjalan pagi. Ia sangat lama memandang ke luar dari dalam melalui jendela kamar. Ia kelihatan gusar. Gelisah. Ia lirik ke belakang, suaminya masih tidur nyenyak di ranjang karena semalam waktu itu mereka habis bercinta. Ia semakin gelisah. Kemana lelaki itu? Kenapa ia tak jalan pagi? Apa ia ketiduran? Atau mungkinkah ia telah berhenti selamanya untuk jalan dan lari-lari kecil? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyerbu pikiran-pikirannya. Namun ia buru-buru menyembunyikannya, takut sang suami tahu tentang sebab gelisahnya.
Cepat-cepat ia atur nafar yang semula tak menentu. Karena tiba-tiba ia dikagetkan oleh suaminya yang telah bangun di belakang “selamat pagi sayang” ia berucap dengan nada agak bergairah, namun di mukanya nampak perasaan lesu. Nampak perasaan merasa kehilangan.
“kenapa kamu sayang, apakah kamu sakit?” tanya suaminya waktu itu.
“aku gak apa-apa mas” jawabnya.
“Tapi kenapa kamu sedih” tanya lagi sang suami.
“Aku hanya perlu sedikit cuci muka”. Lalu ia beranjak dari dekat jendela buru-buru pergi karena khawatir suaminya menatap matanya. Ia menghindari suaminya menatap matanya karena takut sang suami membaca perasaannya.
Untung saja di pagi-pagi setelahnya lelaki itu tetap ada. Masih ada berjalan pagi dengan lari-lari kecil. Dan ia senang karena lelaki itu hanya hari itu saja tak ada. Namun, ia harus selalu berpura-pura memandangi rumput di halaman agar suaminya tidak tahu bahwa ia sedang memandangi seseorang yang sedang lewat di depan rumahnya.
***
Apa yang tidak bisa di dunia ini? Segalanya pasti bisa, apa lagi hanya sekedar menghampiri lelaki itu. Kamu sudah tak kuat ingin tahu lebih dalam tentang lelaki itu. Ah, tapi mengapa perasaanmu begitu sesak ketika harus melambaikan tangan untuk memanggil lelaki itu.
Pada akhirnya ia merencanakan sesuatu. Ia berencana untuk menemui lelaki itu, tepat esok pagi ketika dia lewat di depan rumahnya. Ia akan menghentikan lelaki itu dan akan mengajaknya berbincang-bincang ringan. Ia ingin tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Atau masih bujangkah dia? Ah!
Bagaimana suami kamu, apa mungkin dia tidak akan curiga sesuatu jika kamu benar-benar melakukan itu?
Ia akan mencabuti rumput liar-liar yang sepertinya sudah agak lama tak diurus di halaman depan. Bahkan jalan hampir tertutupi rumput. Kadang lelaki itu memandangi rumput itu sesaat sebelum dia memandang padanya yang berdiri di dalam rumah di balik gorden jendela. Dengan demikian, suaminya tidak akan curiga apa-apa. Mungkin akan senang sang suami jika melihat dirinya bersih-bersih halaman.
Pagi kini, baginya sungguh sangat indah. Terlampau indah. Ia tak mengutuki pagi lagi setelah lelaki itu memberinya debar di hatinya. Dulu pernah ia sangat membenci pagi. Bermula dari kejadian itu. Ya, kejadian di mana ia tiba-tiba menemukan dirinya berada di sebuah tempat yang menakutkan. Waktu itu, saat ia masih kecil, ia merengik menangis tanpa sebab apa pun tengah malam ketika ayah dan ibunya tidur nyenyak. Mereka terbangung kaget mendengar tangisan dirinya. Dan itu, membuat ayahnya marah sehingga dengan kasar menggendongnya dan membawanya pergi ke sebuah tempat. Tempat yang ia kini kutuk. Oleh ayahnya ia ditinggal di tempat itu. Ah, tempat menyeramkan ketika malam datang, agak jauh dari rumahnya. Di situlah sang ayah meninggalkan dirinya terisak-isak. Untung tak terjadi apa-apa padanya. Dan pada paginya sang ayah datang menjemputnya, membawanya pulang ke rumah dengan gendongan yang sangat kasar.
Di rumah ia melihat ibu sedih, kulit ibunya memar seperti habis dicambuk. Ibunya diam saat itu. Ayahnya memaki-maki ibunya tanpa jelas apa yang dikatakan. Yang ia tahu setelah pagi itu, sang ayah tak pernah lagi kembali, ia pergi dengan meninggakalkan kata “talak” kepada ibunya. Mulai pagi itu, ia sangat benci pada pagi. Pagi baginya begitu menyeramkan setelah kejadian itu. Hingga pada akhirnya ia kembali menyukai pagi setelah lelaki itu tiba-tiba memberikan perasaan-perasaan nikmat padanya. Sungguh lelaki itu, lelaki pagi yang membuatnya senang.
***
Pagi-pagi benar ia bangung. Ia bangun lebih pagi dari biasanya. Ia lihat suami di sampingnya masih nyenyak tidur. Dan tak banyak fikir lagi, ia gerakkan tubuhnya dan segera beranjak mengambil peratan kebun secukupnya. Saat fajar baru menyingsing, ia sudah bermain-main dengan rumput. Wajahnya girang. Penuh kebahagiaan.
Namun, detak jangtungnya sulit diatur. Juga keningnya mengerluarkan keringat agak dingin. Sebentar lagi, pasti lelaki itu akan segera lewat tepat di depanku yang sedang membereskan rumput-rumput liar, pikirnya. Dan ia tak akan banyak fikir lagi, ia akan langsung menyapa lelaki itu.
Ah, ia tampak cemas. Seakan suaminya menatap dirinya dari dalam rumah dengan tatapan tajam. Dan ia akan merasa sangat bersalah karena meninggalkan suaminya sebelum bangun, sebelum ia mengucapkan: selamat pagi sayang. Ia semakin cemas seolah suaminya kini tahu bahwa ia hanya beralasan membersihkan rumput. Dengan rasa berat dan perasaan tak menentu ia tatap jendela tempat ia memandang lelaki itu dari dalam ketika lelaki itu jalan pagi di jalan depan rumahnya, dan ternyata suaminya sedang berdiri di situ, sedang memandang dirinya. Betapa ia terkejut setengah mati. Hampir ia tak sanggup menyembunyikan rasa gelisahnya yang sejak tadi menyerangnya. Sang suami tersenyum senang. Dan ia merasa sedikit lega. Ah, untung suaminya tak curiga apa-apa.
Tapi kenapa lelaki itu tak ada? Tak berlari-lari kecil? Nyalinya menciut menerima kenyataan lain. Matahari di timur sudah mulai terlihat, tapi lelaki itu tak juga muncul. Dan buru-buru ia cabuti rumput liar dengan perasaan tak semangat. Perasaan gusar dan jengkel, dengan gerutuan kecil yang keluar dari mulutnya. Lalu, ia masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian sang suaminya pamit berangkat kerja, dan tentu saja diciuminya keningnya.
***
Sudah lebih satu minggu lelaki itu tak lagi berjalan di depan rumahnya. Tak ada lagi lari-lari kecil yang dia lakukan. Setiap ia tatap jalan di depan rumahnya itu, ia hanya mendapatkan kekosongan. Kehampaan. Ia tak mendapatkan perasaan debar yang terlampau nikmat seperti saat lelaki itu masih berjalan pagi di depan rumahnya. Ia juga semakin tak memiliki gairah saat bercinta dengan suaminya. Dan lambat laun, ia mulai mengutuk pagi, mulai membenci pagi. Bahkan pada akhirnya, lebih benci lagi, dan lebih benci. Ia amat sangat benci terhadap pagi.

Yogyakarta, September 2008